1saturnuce

Setelah selesai meletakkan sepiring nasi dengan semangkuk sop ayam untuk Abel, Rey melangkahkan kakinya pergi. Hari ini ia terasa lebih segar dan jauh lebih baik dari sebelumnya, mungkin karena jam tidurnya yang berangsur normal juga makanya ia merasa seperti itu.

Kakinya melangkah menuruni satu persatu anak tangga untuk menuju ke lantai bawah, namun baru beberapa langkah, kakinya tiba-tiba terhenti. Matanya menangkap sosok pria dengan kaus putih dengan sebuah kemoceng di tangannya tengah bersenandung pelan. Ia menyipitkan matanya kemudian kembali naik dan melangkahkan kakinya mendekat ke arah pria itu.

“Pa?” panggil Rey yang kini ia sudah berdiri di ambang pintu.

“Rey?” Sean membalikkan tubuhnya kemudian tersenyum hangat ke arah Rey. “Papa lagi beresin kamar Nathan, takutnya dia gak mau tidur disini lagi kalau kamarnya kotor.”

“Liat, koleksi foto-fotonya juga banyak debu gini,” ujar Sean yang kembali memfokuskan dirinya pada benda-benda sekitar. Kini di tangannya terlihat ada sebuah figura foto, berisi hasil jepretan bunga mawar putih dengan gradasi warna ala-ala vintage disana. “Harus Papa bersihin.”

“Pa...” lirih Rey perlahan.

“Kameranya... kameranya juga banyak debu.” Sean beranjak dari tempatnya, ia melangkahkan kakinya ke sebuah lemari kaca berwarna hitam yang berada di sudut ruangan. Di dalamnya terdapat berbagai macam jenis kamera yang menjadi koleksi Nathan. “Aduh dia kenapa selalu pake kamera yang itu-itu aja, sih? disini kan masih banyak.”

“Pa, udah...” lagi-lagi Rey kembali bersuara.

Bukannya menjawab, pria itu justru bersikap acuh. Ia bergerak maju, meraih sebuah gitar tua yang sangat familiar di matanya. “Gitar ini biasanya dia simpen dimana ya? deket kasur atau deket lemari?”

Ia tampak berpikir sejenak, kemudian mengalihkan pandangannya pada Rey. “Menurut kamu, gimana?”

Rey yang sudah mulai lelah dengan tingkah sang ayah langsung menghela nafasnya berat. “Pa, udah.” Ia melangkah maju, mendekat ke arah pria itu kemudian memeluknya. “Udah, ya? Papa harus sadar. Papa harus belajar ikhlas kaya yang lain, emang awalnya susah, bahkan buat Rey juga. Tapi papa harus coba.”

Sean diam, lututnya terasa melemas dan tangannya bergetar. Rey yang menyadari Sean hampir kehilangan keseimbangan kini menariknya ke ranjang, membiarkannya duduk dan mengatur pernafasannya.

Selama sepersekian detik hanya ada keheningan diantara keduanya. Hingga pada akhirnya, Sean kembali membuka suara.

“Papa tau, Rey. Papa sadar sama semua yang papa lakuin, papa cuma ga mau kalian bener-bener anggap Nathan pergi dari rumah ini aja. Papa selalu ngerasa Nathan ada di sini, di rumah ini, jagain kita,” tuturnya dengan suara yang begitu pelan.

“Pa...”

“Papa cuma mau jadi ayah yang baik buat Nathan,” lirihnya dengan suara yang mulai bergetar. “Gak ada yang lain...”

“Iya Rey tau, Rey paham banget apa yang papa rasain karena Rey juga ngerasain hal yang sama.” ujar laki-laki itu tanpa melepaskan pelukannya dari sang ayah. Tangannya mulai bergerak, mengelus punggung pria itu dengan harapan akan memberi sedikit ketenangan padanya. “Tapi sikap papa yang kaya gini ga bisa Rey benerin juga. Kita ga harus lupain dia, kaya yang papa kira. Cukup ikhlasin aja kepergiannya.”

“Tapi-”

“Pelan-pelan, nanti juga bisa.”

Sean diam. Ia tak sanggup lagi mengeluarkan sepatah katapun dari mulutnya.

Dengan perlahan, Rey melepaskan pelukannya. “Yaudah, sekarang papa turun trus makan, tadi Rey sama Kale udah masak sesuatu buat sarapan.”

“Kakak?”

“Udah Rey anterin makanannya,” jawab Rey seraya bangkit dari duduknya. “Rey pergi dulu, ya?”

“Kemana?”

“Jalan-jalan sebentar, ini kan hari minggu,” ujar laki-laki itu kemudian merekahkan senyumannya.

“Hati-hati.”

“Iya.”


Rey melangkahkan kakinya turun, menuruni satu-persatu anak tangga untuk menuju ke lantai bawah. Samar-samar ia mendengar suara piring dan sendok yang beradu, ditemani dengan perdebatan kecil antara kedua adik laki-lakinya.

“Makanan punya lo yang itu,” ujar Johan seraya menjauhkan sebuah piring berisi nasi dan ayam goreng ditangannya. “Ini punya gue!”

“Tapi punya lo lebih enak,” rengek Kale dengan tangan terus berusaha meraih piring yang Johan pegang. “Minta dikit.”

“Jangan rebutan, itu udah ada bagiannya masing-masing,” timpal Rey yang baru saja tiba ke meja makan.

“Dia tuh,” tunjuk Johan dengan wajah kesal. “Minta-minta mulu jadi orang.”

“Dikit doang,” sahut Kale tak mau disalahkan.

“Kasih sesuap aja, biar diem,” ujar Rey seraya menyuapkan tempe goreng ke dalam mulutnya.

“Tuh denger,” cibir Kale. Ia memutar bola matanya malas kemudian menyodorkan telapak tangannya ke arah Johan. “Buruan minta.”

Dengan berat hati, mau tak mau Johan harus mengembalikan piringnya ke posisi semula. Ia menyodorkan benda itu agar Kale bisa mengambil beberapa makanannya, namun dengan tangan kiri yang menodongkan garpu. “Jangan banyak-banyak! lo kalo minta suka gatau diri.”

“Iya elah, pelit amat.”

Rey hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah Kale dan Johan. Sesekali ia juga tertawa karenanya. Meski sebenarnya ini bukan kali pertama ia harus menyaksikan pemandangan seperti ini.

“Rapih banget pagi-pagi gini, mau kemana?” tanya Johan tiba-tiba. Kini pandangannya menatap lurus ke arah Rey.

“Jalan-jalan, kan hari minggu,” jawabnya singkat.

Johan hanya ber-oh ria kemudian kembali memfokuskan dirinya dengan makanan.

“Trus papa kemana?” tanya Kale dengan mulut yang penuh dengan makanan.

“Di atas,”

“Ngapain?”

“Bersih-bersih,” jawab Rey memberi jeda. “Kaya biasa lah.”

Kale dan Johan yang sudah mengerti apa maksud dari ucapan Rey hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Yaudah gue cabut dulu,” ujar Rey setelah menegak segelas air putih yang ada di sebelah kirinya. “Johan jangan lupa cuci piring, hari ini bagian lo.”

“Iya.”

Setelah dirasa selesai, Rey segera bangkit dari tempat duduknya kemudian melangkah pergi. Namun baru beberapa langkah, tiba-tiba Kale memanggilnya.

“Rey.”

“Apa?”

“Nih nih bawa,” ujarnya seraya menyodorkan sebuah cup berisi hot americano padanya. “Biar ga ngantuk.”

“Buat kalian emang masih ada?”

“Ada, ini banyak kok,” ujar Johan seraya membuka sebuah paper bag berwarna putih yang ada di atas meja. Tangannya bergerak menunjuk satu persatu minuman itu kemudian menghitungnya. “Ada satu, dua, tiga, empat, lima, enam, ada enam.”

“Enam?” Rey mengernyitkan keningnya. “Satu lagi buat siapa?”

“Bang Lio kali, tadi kan dia kesini,” jawab Kale.

“Enggak, tadi kita pesennya sebelum dia kesini,” timpal Johan seraya menegak salah satu hot americano itu.

“Siapa yang pesen?” lagi-lagi Rey bertanya.

“Papa.”

Laki-laki dengan leather jacket itu hanya menghela nafasnya berat. Ia tak akan terkejut lagi jika Sean melebihkan porsi pesanannya lagi. Entahlah jika ditanya pun ia hanya menjawab 'buat Nathan' dan selalu seperti itu. Yang bisa ia lakukan juga tak banyak selain mengiyakan dan memaklumi keinginannya. Bahkan yang lain juga.

“Yaudah lah, kalian kan tau sendiri,” ujar Kale seraya melangkahkan kakinya kembali ke meja makan.

Rey yang semula berniat untuk langsung pergi, kini berbalik. Ia mengambil paper bag itu kemudian mengeluarkan beberapa hot americano yang ada di dalam sana, dan menyisakan dua untuknya.

“Eh eh ngapain lo?”

“Gue ambil dua,” ujarnya dengan tenang. “Pergi dulu ya.”

“Hati-hati,” “Jangan ngebut.”

“Iya.”

Setelah itu punggungnya benar-benar menghilang di balik tembok menuju ruang depan. Entah kemana sebenarnya laki-laki itu akan pergi, ia tak mengatakan apa-apa selain jalan-jalan.


Setelah mengemudi hampir 20 menit lamanya, akhirnya Rey sampai di sebuah pemakaman yang cukup sering ia kunjungi belakangan ini. Pagi ini cuaca terlihat lumayan cerah dan hangat. Sinar mentari pagi juga tampak menyinari beberapa nisan disana.

Laki-laki itu berjalan santai, melewati pepohonan rindang dan rumput hijau di jalan setapak yang ia lalui. Sesekali ia terlihat merapatkan jaketnya karena terasa dingin. Ia terus berjalan, dengan santai dan hati yang hangat, hingga tiba-tiba ia menghentikan langkahnya di sebuah makam yang terlihat masih cukup baru dengan taburan bunga diatasnya. Sepertinya seseorang datang lebih awal darinya hari ini. Jika tebakannya benar, orang itu pasti Hanin.

“Hi Nath, gue dateng lagi,” sapa laki-laki itu seraya menarik sudut bibirnya, membentuk sebuah senyuman hangat. “Sorry kepagian, kalo agak siang gue ada acara sama anak-anak seni.”

Kini tangannya bergerak membersihkan beberapa dedaunan kering yang jatuh di sekitar makam itu, “Lo tau gak? sekarang gue gabung jadi anggota seni lagi, gue gabung ke band kita dulu dan jadi vocalist kaya dulu. Kaya yang lo mau. Sorry waktu itu gue nolak-nolak ajakan lo buat balik dengan alesan yang ga masuk akal, gue ga beneran benci sama band kita kok, kadang-kadang gue masih suka nyanyiin lagu kita kalo lagi mandi, atau lagi ngelukis.”

“Sorry juga kalo gue segatau diri itu karena sering datengin lo cuma buat cerita tentang apa aja yang terjadi di hidup gue akhir-akhir ini,” tuturnya dengan suara yang semakin memelan. Ia memejamkan matanya sejenak, kemudian mengatur pernafasannya. Membiarkan udara segar di tempat ini menerobos indera penciumannya selama beberapa saat.

“Oh iya, gue juga bawa ini.” Rey mengangkat paper bag putih yang sejak tadi ia bawa kemudian menunjukannya, seolah-olah Nathan memang sedang berada di sampingnya. “Hot americano favorite lo, gue gak tau lo bakal suka atau nggak soalnya bukan gue atau anak-anak yang pesen, tapi papa.” Kini wajahnya berubah sendu.

“Lo tau ga? sejak lo ga ada dirumah, papa jadi lebih sering tidur di kamar lo daripada di kamarnya sendiri. Dia juga kebih sering ngabisin waktu disana buat sekedar liat-liat hasil jepretan lo yang dipajang di kamar itu.” Ia kembali bercerita, kini tangannya bergerak menggulir flip pada cup itu agar ia bisa meminumnya. “Papa sayang banget sama lo, Nath. Dia bilang dia mau jadi ayah yang baik buat lo, buat kakak, buat kita, buat kelima bintangnya.”

Sebuah helaan nafas berhasil ia loloskan setelah tegakkan pertama pada kopinya. Ia mengubah posisi duduknya menjadi menyamping, kepalanya menengadah dan pandangannya lurus ke arah langit.

“Lo inget gak waktu kita masih kecil dulu? waktu kita kepisah di bandara cuma gara-gara cari ice cream?” tanya laki-laki itu dengan suara seolah-olah meminta jawaban. Meskipun sebenarnya ia tau, tak akan ada yang menjawabnya. “Waktu itu kita kena marah ayah lama banget sampe kita semua hampir ketinggalan pesawat. Trus mama gak belain kita sama sekali, dia cuma ketawa sambil bilang makanya jangan bandel, trus gue nangis deh.”

“Lo inget ga waktu itu papa bilang apa? papa bilang kita berempat itu seperti bintang, kita empat sisi bintang yang tak boleh terpisah sebelum menemukan satu bagian lain yang hilang.” Tuturnya memberi jeda. “Dulu gue cuma bisa mikir, papa aneh, ngelantur, atau apapun itu karena dulu gue masih kecil dan ga ngerti apa-apa.”

“Tapi sekarang gue paham, Nath.” Kini seulas senyum tercetak di bibirnya. “Gue paham maksud dari perumpamaan bintang yang papa bilang waktu itu.”

“Empat sisi itu kita, gue, lo, Kale sama Johan. Dan bagian yang hilangnya itu kakak.” Ia menegak kembali kopinya kemudian mengubah posisi duduknya seperti semula. Kini pandangannya kembali berfokus pada sebuah nisan dengan nama Nathan Damarion disana. “Lo tau bangun datar bintang, kan?” tanya Rey dengan suara yang begitu rendah.

Rey meletakkan kopinya ke samping kemudian menundukkan kepalanya, tangannya bergerak menggambar sesuatu pada permukaan tanah di samping makam itu. “Dia memiliki lima sisi dengan lima bentuk yang sama besar. Kemanapun arahnya, bentuknya akan tetap sama dan akan tetap menjadi bintang. Kita juga harus seperti itu, apapun masalahnya, bagaimanapun keadaannya, kita harus tetap berlima agar menjadi bentuk bintang yang sempurna. Jika hilang satu, bukan bintang namanya.”

Ia menghela nafasnya berat, selama sepersekian detik matanya terpejam. “Dan sekarang kita harus kehilangan satu sisi itu, Nath.”

“Satu sisi itu pergi, dan bersinar seorang diri disana.” Sambung Rey seraya menunjuk ke arah langit. “Tenang-tenang ya disana? lo tetep bagian dari kita, meskipun tempat kita udah beda.”

Tak ada yang bisa tidur nyenyak setelah apa yang terjadi tadi malam. Isak tangis dari orang-orang terus terdengar sejak dini hari tadi. Bahkan sepertinya langit juga ikut menangis karena kepergiannya, karena sejak pagi ia tak henti-hentinya menurunkan hujan ke bumi.

Rasa dingin terasa menjalar di sekujur tubuh Abel, air matanya yang hampir habis tak membuatnya beranjak atau sekedar melepaskan genggamannya pada nisan sang adik. Ia tetap menangis dan terus menangis seolah-olah hanya dirinya lah yang ditinggalkan. Padahal di sisi lain puluhan orang juga merasakan hal yang sama dengannya, terutama Sean. Untuk ketiga kalinya, ia harus merasa kehilangan karena ditinggalkan.

Sejak tadi pria itu juga hanya menangis dan enggan beranjak sedikitpun dari tempatnya, meski Jordi sudah mengajaknya untuk pergi dan menyapa beberapa rekan kerja yang turut hadir ke pemakaman.

Kini bisikan-bisikan kecil dari para guru dan siswa yang berpamitan juga mulai menjadi latar suara di pemakaman pagi itu. Tak ada satupun yang merasa tak kehilangan karena kepergian Nathan. Apalagi jika mengingat bahwa laki-laki itu sangat pandai bersosialisasi dan memiliki banyak teman, membuat mereka sangat kehilangan sosoknya.

Satu persatu orang mulai beranjak meninggalkan area pemakaman, melewati pepohonan yang rindang, melangkahi jalanan berumput yang basah karena guyuran hujan dan meninggalkan Nathan sendiri disana, dengan musim favoritenya di penghujung tahun ini. Penghujan.

“Pa,” panggil Kale seraya menepuk-nepuk pundak sang ayah. “Ayo pulang.”

“Papa masih mau disini,” jawabnya dengan suara parau. “Kalau papa pulang nanti Nathan sama siapa?”

“Pa.. “

“Kasian Nathan sendirian disana, pasti dingin ya, nak?”

Kale hanya menghela nafas panjang kemudian berlalu. Pikirannya terlalu kacau untuk sekedar duduk dan menenangkan orang lain, dirinya juga butuh penenang saat ini.

“Kemana?” tanya Johan ketika menyadari Kale yang beranjak pergi.

“Pulang,” jawabnya singkat.

“Hati-hati, jangan lupa makan.”

Tak ada jawaban, laki-laki dengan payung hitam itu hanya menganggukkan kepala kemudian melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti. Sesekali ia terlihat menyeka air mata yang tumpah di kedua pipinya. Ia sangat jarang menangis, bahkan hampir tak pernah. Dan ini adalah kali keduanya menangis tanpa henti hingga membuat dadanya terasa sesak berulang kali. Di pemakaman yang sama dengan cuaca yang sama.

Itulah mengapa ia sangat membenci pemakaman dan hujan. Karena untuk kedua kalinya dua hal itu telah merenggut orang yang ia sayang, orang yang sangat ia jaga dan orang yang telah berjuang begitu keras untuk merasakan bahagia ditengah ketersiksaannya terhadap penyakit yang ganas.

Mungkin terkadang Tuhan terdengar tidak adil pada manusia, seolah hanya mereka yang terlahir dari keluarga sempurna lah yang berhak merasakan kebahagia di dunia ini. Dan kami yang terlahir dari keluarga seperti ini, harus berjuang mati-matian untuk berdamai dengan keadaan demi mendapat setetes kebahagiaan.

Tapi bagaimanapun itu, skenario Tuhan tetap yang terbaik. Dengan berakhirnya perjuangan Nathan, kita tak perlu lagi melihatnya tersungkur di lantai karena kepalanya yang terasa berputar, atau melihat tangannya yang bergetar ketika mengguratkan pena di atas kertas. Kita juga tak perlu lagi mendengarnya mengucapkan kata baik-baik saja, disaat tubuhnya sudah menolak dirinya untuk terlihat baik-baik saja. Kini ia sudah mencapai kesembuhannya, ia tak akan merasakan lagi rasa sakit itu di sana. Ia bisa tertidur dengan tenang dan tanpa gangguan menyebalkan dari keempat saudaranya. Ia bisa tersenyum dan bahagia seperti sedia kala.

“Selamat tidur, anak baik,” gumam Kale bersamaan dengan air mata yang kembali jatuh dari kedua matanya.


Di sisi lain, di dalam sebuah kamar bernuansa putih dengan semerbak aroma vanilla yang manis, terlihat seorang laki-laki berpakaian serba hitam tengah duduk dan memeluk kakinya di salah satu sudut ruangan. Kepalanya tertunduk, air matanya jatuh, dan terdengar isak tangis disana. Satu jam yang lalu, setelah prosesi pemakaman Nathan, ia memutuskan untuk pulang lebih dulu. Kakinya bergerak tak tahu arah tujuan, kesana-kemari mencari sesuatu yang bahkan ia sendiri tak tahu apa itu. Hingga pada akhirnya ia menghentikan langkahnya di sini, di sebuah kamar berukuran 5x5 meter dengan puluhan jepretan abstrak yang terpajang di dinding ruangan.

Di tengah-tengah tangisannya, samar-samar Rey mendengar rekaman video dalam laptopnya kembali terputar.

“Motor apa?”

“Itu Pa, motor kesayangan Kale yang waktu Papa nanya kenapa gak pulang-pulang, terus Kale jawab ilang, itu sebenernya dicolong sama dia nih.”

“Ngga kok, orang Cuma minjem.”

“Mana ada minjem gak dikembaliin?”

“Ih Pa, liat deh. Masa anak kecil marah-marah sama yang lebih tua? Parah banget.”

“Kale!”

“Gue lagi gue lagi”

“Hahahahahaha”

Suara tawa itu berhasil menerobos indera pendengaran Rey saat itu juga, dadanya semakin terasa sesak dan tangisannya semakin pecah. Ribuan penyesalan dalam dirinya kian memuncak ketika rekaman video itu kembali terputar. Rey tau apa yang ia perbuat selama ini kepada Nathan, ia benar-benar menyadarinya, karena hal itu juga lah yang membuatnya begitu menyesal saat ini. Ia menyesal karena tak bersikap baik padanya lebih awal, ia menyesal karena terlalu mementingkan egonya. Karena sekarang, tak ada apapun yang bisa ia perbuat. Selama apapun ia menangis, sekeras apapun ia menjerit dan meneriakkan kata maaf, tetap tak akan membuat Nathan kembali padanya.

“Maafin gue, Nath...” lirih Rey ditengah isak tangisnya.

Hampir empat jam lamanya Nathan pingsan dan tak sadarkan diri, beberapa kabel dan selang terlihat dipasang di tubuhnya. Suara dari beberapa alat medis dan gumaman para pengunjung juga terdengar saling bersautan satu sama lain. Di dalam ruangan itu hanya ada kelima anggota keluarganya, Sean, Abel, Rey, Johan dan Kale. Mereka semua berada di sini, di tempat ini, tepat setelah Nathan dan Hanin kembali. Semuanya kacau. Rasa khawatir, takut dan sedih semua bercampur menjadi satu.

“Nathan cuma tidur, kak.” ujar Johan menenangkan. Ia merengkuh gadis itu kemudian memeluk gadis yang tengah menangis itu. “Tenang ya?”

“Tapi ini udah lebih dari 4 jam,” suara paraunya terdengar menggema ruangan itu.

“Dia lagi istirahat,” sahut Kale yang duduk di kursi single sit yang ada di ruangan itu. Dari keempat anggota keluarganya yang lain, dirinya lah yang paling akhir mengetahui bahwa Nathan ditemukan tak sadarkan diri. Dan pikirannya benar-benar kacau saat ini.

“Terus kalo dia gak bangun lagi gimana?”

“Abelia!” sentak Rey di sudut ruangan. Sejak tadi ia hanya diam dan sibuk berkutat dengan pikirannya. Tapi ketika mendengar kalimat yang baru saja kakaknya ucapkan, kekesalannya tiba-tiba memuncak.

“Dia gak gerak sama sekali, Rey.” Abel kembali bersuara. Sorot matanya yang kosong dan pelupuk matanya yang sudar dibanjiri air mata cukup menjelaskan bahwa gadis itu benar-benar kalut dengan kondisi adiknya yang tiba-tiba memburuk.

“Dia cuma kecapean, kakak gak inget tadi siang dia bilang apa?” Rey mengangkat kepalanya, mata cokelatnya menatap lurus ke arah Abel. Kemudian dengan pelan, ia melanjutkan kalimatnya. “Dia terus-terusan bilang cape dan mau istirahat.”

“Jangan berisik,” gumam Sean dengan intonasi suara yang rendah, sangat rendah hingga rasanya nyaris berbisik. Tangannya terus bergerak, mengusap pipi putranya dengan harapan ia akan bereaksi dan membuka matanya. “Nathan kita sedang tidur.”

Johan yang semula hanya diam dan berpegang teguh pada pendiriannya kini mulai goyah. Matanya terasa memanas dan air mata di dalamnya siap pecah kapan saja, namun sebelum hal itu benar-benar terjadi, ia menengadahkan kepalanya. Ia yakin tak hanya dirinya yang merasakan hal seperti ini.

“Hari ini pasti jadi hari yang panjang buat dia,” Sean kembali bersuara. Sorot matanya yang sendu, dan air mata yang tak henti-hentinya menetes jelas menunjukkan semua kesedihan yang tengah dirasakannya.

“Pa...” suara parau itu berhasil Nathan loloskan dengan mata setengah terpejam. Suaranya terdengar berat dan tertahan karena alat bantu pernapasan yang terpasang padanya. Matanya terbuka perlahan dan tangannya bergerak sedikit demi sedikit.

“Nathan?”

Lirihan Nathan berhasil membuat semua yang ada disana terkesiap dan langsung mendekat ke arahnya. Tak terkecuali Kale dan Rey.

“Kamu rasain sesuatu?” “Ada yang sakit?”

Pertanyaan-pertanyaan itu langsung mereka lontarkan pada Nathan dalam waktu yang bersamaan. Namun bukannya menjawab, laki-laki itu justru malah menarik sudut bibirnya, membentuk sebuah senyuman tipis disana. Meskipun terhalang, tapi mereka masih bisa melihatnya dengan jelas.

“Lihat, dia bisa senyum sekarang,” ujar Kale dengan netra yang tertuju pada saudara laki-lakinya.

“Nathan gak papa,” lirih Nathan dengan intonasi suara yang begitu rendah.

“Dasar angkuh,” Dibalik tubuh tinggi Kale, diam-diam Rey menjatuhkan air matanya. Entah sudah berapa kali dirinya menangis hari ini, ia merasa matanya sudah sangat sakit dan hampir membengkak. Ia tak habis pikir, bagaimana bisa disaat kondisinya sudah seperti ini, dan disaat wajahnya sudah sepucat mayat, ia masih mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja.

Mereka semua berdiri mengelilingi ranjangnya, saling memandang satu sama lain tanpa ada yang mengeluarkan sepatah katapun. Hingga tiba-tiba Nathan menggerakkan tangannya memberi isyarat.

“Kenapa?” “Sakit?” “Nath?”

Tak ada jawaban apapun darinya. Laki-laki itu terlihat membuka mulutnya, hendak mengatakan sesuatu namun tertahan.

“Kertas,” ujar Kale tiba-tiba. “Ambilin kertas.”

Rey mengedarkan pandangannya menyapu sekeliling ruangan mencari sesuatu yang barh saja Kale ucapkan. Hingga tiba-tiba netranya menangkap sebuah notebook berwarna abu-abu yang tergeletak di atas meja. Dengan sigap, ia langsung mengambilnya dan memberikannya pada Kale.

“Ini, tulis disini.” ujar Kale seraya menyodorkan benda itu pada Nathan.

Dalam beberapa saat laki-laki itu diam. Sorot matanya menatap lurus ke depan, ke arah jam dinding yang menempel di dinding kamar itu. Waktu sudah menunjukkan pukul 23.59, dan masih kurang satu menit lagi menuju tengah malam.

“Nath?” panggil Johan perlahan.

Tetap tak ada jawaban. Kini laki-laki itu mengalihkan pandangannya pada Abel sejenak. Menatap gadis itu lekat-lekat dengan mata yang hampir mengatup. Setelah itu ia mulai mengguratkan sesuatu di halaman paling belakang buku itu, dengan sorot mata yang nanar dan tangan bergetar.

Semua diam, tak ada yang bersuara maupun mengubah posisinya. Mereka membiarkan laki-laki itu menulis apa yang ingin ia sampaikan. Hingga tepat ketika pergantian hari, ia melepaskan penanya dari buku itu.

“Apa yang dia tulis?” tanya Johan entah pada siapa.

Kale mengambil alih buku itu kemudian mulai membacanya. Dalam beberapa saat ia tepaku, matanya yang sudah memerah sejak tadi tak berkedip sedikitpun. Kini matanya mulai terlihat berkaca-kaca, ada air mata yang siap jatuh kapan saja. Kale mengatur pernapasannya sejenak, kemudian dengan suara pelan ia bersuara. “Selamat ulang tahun, kakak.”

Tepat di akhir kalimat yang Kale ucapkan, bedside monitor yang terpasang di samping ranjangnya tiba-tiba mengeluarkan suara yang nyaring dan panjang. Semua orang yang ada di sekeliling langsung tersentak, mereka semua menoleh ke arah monotor yang menampilkan garis lurus tak berujung.

“DOKTER!!” “DOKTER!!” “PANGGIL DOKTER SEKARANG!!”

Teriakan ada dimana-mana. Semua orang mulai panik, tak terkecuali Rey. Laki-laki itu berlari keluar ruangan dan berteriak dengan lantang di lorong Rumah Sakit untuk memanggil para dokter, perawat, atau siapapun yang bisa menolong adiknya. Bahkan ia sampai melewatkan tombol darurat karena terlalu kalut dengan keadaan.

Dalam waktu yang sikat, seorang dokter dan beberapa perawat berlarian masuk. Dengan beberapa alat medis yang dibawanya, mereka tampak memberi pertolongan padanya.

Situasi menjadi kacau dalam sekejap, semua orang panik dan khawatir dengan laki-laki yang terbaring lemah di ranjang putih itu.

“Nathan!” teriak Abel dengan tangan yang terus memberontak. Ia ingin berlari, menghampiri laki-laki itu dan memeluknya dengan erat. Namun langkahnya tertahan karena Johan tak membiarkannya pergi. Laki-laki itu memeluknya, berusaha membuatnya tetap tenang.

“Jakarta, 5 Desember 2021. Pukul 00.05 AM.” ujar sang Dokter pada salah satu perawatnya. Satu kalimat penegasan yang mampu membuat siapapun yang mendengarnya langsung terpaku.

Bahkan Abel yang sejak tadi memberontak pun langsung diam dalam sekejap. Ia merasa lemas di sekujur tubuhnya, lututnya bergetar hebat dan kerongkongannya tercekat. Ia menjatuhkan tubuhnya ke lantai, kemudian meraung dengan keras, menumpahkan segala kesedihannya disana. Tanpa penghalang dan tanpa kata penenang pada siapapun. Ia menumpahkan semuanya. Dari sekian banyak skenario yang ia buat di kepalanya, skenario terburuk lah yang menjadi kenyataan. Dan itu adalah mimpi buruk baginya. Mimpi terburuk yang pernah ada.

Kini satu dari lima sisi bintang itu padam. Matanya terpejam sempurna dan takkan pernah terbuka untuk selamanya. Ia tertidur dengan tenang disana. Bahkan ketika ada bagian lain yang berusaha memberinya cahaya, ia akan tetap padam.

Waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam, masih kurang lima jam menuju tengah malam dan hari ulang tahun Abel. Entah mengapa sejak pagi tadi kepala Nathan tak henti-hentinya berdenyut. Rasanya seperti ada sesuatu yang terus menghantamnya, dan membuatnya merasa berputar. Ya meskipun biasanya sakit, tapi hari ini sakitnya lebih terasa. Self-diagnosis paling masuk akal menurutnya adalah terlalu banyak pikirkan dan terlalu singkat jam tidurnya. Belum lagi matanya yang terasa agak berat kali ini, rasanya jika tak sedang menunggu sesuatu, ingin sekali sekali tidur. Tidur panjang tanpa mendapat gangguan dari siapapun.

Sebenarnya Hanin juga sudah memberinya saran untuk mengucapkan selamat besok pagi, atau ketika dirinya dan Abel bertemu saja. Tidak perlu ketika hari berganti, agar dirinya bisa tidur. Tapi kembali lagi, ini adalah inisiatifnya sendiri, dan ia ingin melakukannya. Ya meskipun tidak memiliki banyak persiapan, tapi ia ingin menjadi yang pertama dalam memberi ucapan pada kakaknya, kakak kandungnya. Se sederhana itu keinginannnya.

“Abis ini kamu tidur aja, nanti pas udah deket jam 12 aku bangunin.” ujar Hanin seraya menyodorkan sebuah sendok berisi nasi dan beberapa sayuran kepada Nathan.

Bukannya menjawab, laki-laki yang diajaknya bicara itu justru menggeleng pelan. Sorot matanya masih terlihat fokus ke sebuah notebook berwarna abu-abu, dan menuliskan sesuatu diatas sana.

“Kamu udah ngantuk kan?” lagi-lagi Hanin bersuara. Namun yang ditanya tetap saja enggan mengeluarkan sepatah katapun dari mulutnya. Ia hanya fokus mengunyah makanan yang Hanin suapkan padanya dan terus menulis.

Hanin menghela nafasnya sejenak kemudian memalingkan pandangannya ke arah jendela. Malam ini tak ada bintang maupun bulan yang terlihat. Padahal ramalan cuaca mengatakan dalam sepekan kedepan akan cerah.

“Hanin,” panggil Nathan tiba-tiba. “Papa... kemana?”

“Tadi kan dia udah izin ke kamu buat pulang dulu, emangnya gak inget?”

“Oh... iya”

Hening. Lagi-lagi Nathan membungkam mulutnya rapat-rapat. Entahlah, ia hanya tak terlalu berenergi saja hari ini, jadi yang bisa ia lakukan hanya diam. Ia menghela nafasnya panjang kemudian menoleh ke arah jendela. Melihat tirai berwarna putih tulang yang bergerak ke kanan dan ke kiri karena tiupan angin dari celah jendela. Selama beberapa saat, ia diam. Tak berkutik dan mengatakan sepatah katapun pada orang di sampingnya.

“Kenapa?” tanya Hanin yang menyadari perunahan sikap Nathan.

“Mau keluar,” jawabnya memberi jeda. “Temenin, ya?”

“Mau kemana?”

“Lihat bintang.”

“Hari ini gak ada bintang, dari tadi siang kan mendung,” jawab Hanin seraya menaruh piring yang sedari tadi ia pegang ke atas nakas.

“Sebentar aja, Hanin.” Nathan memohon.

Hanin menghela nafasnya berat kemudian mengangguk pelan. “Yaudah.”

Sebuah senyum bahagia tercetak di bibir Nathan ketika mendapati jawaban dari gadis itu. Ia mengubah posisi duduknya untuk turun dan pindah ke kursi roda yang selalu berada di sebelah kiri ranjangnya. Hanin yang menyadari hal itu dengan sigap langsung membantunya, ia membiarkan lengannya untuk menopang tubuh Nathan yang lemah.

Setelah memastikan Nathan duduk dengan benar, ia menunduk, menyejajarkan wajahnya dengan Nathan kemudian menatap mata laki-laki itu dengan tenang. “Sebentar aja ya?”

Lagi-lagi Nathan menganggukkan kepalanya. Tak masalah, lagipula ia hanya ingin melihat suasana luar saja malam ini. Tak ada yang lain.


Semilir angin dan cahaya remang-remang dari lampu taman akan menjadi teman bercerita Nathan dan Hanin malam ini. Sebenarnya taman Rumah Sakit bukan salah satu objek yang akan ramai dikunjungi orang-orang, maka tak heran jika malam ini hanya terlihat beberapa pasien dengan para pengunjung saja yang datang, untuk jalan-jalan atau sekedar mencari udara segar di luar. Sama seperti yang dilakukan Nathan saat ini.

Kini laki-laki berpakaian khas pasien rumah sakit itu tengah duduk di kursi rodanya dengan kepala menengadah, melihat hamparan awan yang bergerak bebas di atas sana. Begitu pula dengan gadis dengan rambut tergerai yang ada di sampingnya, ia juga menengadahkan kepalanya untuk melihat langit yang sama dengan Nathan.

“Menurut kamu, langit ada ujungnya gak?” tanya Nathan membuka percakapan.

“Langit?” tanya Hanin yang langsung diberi anggukan oleh laki-laki disampingnya.

Gadis itu tampak berpikir sejenak kemudian dengan pelan ia menolehkan wajahnya ke arah Nathan. Memperhatikan sorot mata Nathan yang terlihat bebinar memandang langit. “Entah, mungkin ada mungkin juga nggak. Menurut kamu?”

“Ada.”

“Kenapa gitu?”

“Segala sesuatu pasti ada ujungnya kan? bagian penghabisan dalam sesuatu itu selalu ada.” Ujar Nathan seraya menoleh ke arah Hanin. Kini netra keduanya beradu dalam jarak yang lumayan dekat. Dalam beberapa saat Nathan diam dan hanya membalas tatapan gadis itu, hingga akhirnya ia melanjutkan kalimatnya. “Bahkan jalanan yang menghubungkan semua daratan juga ada ujungnya.”

“Mereka beda, Nath.”

“Ya... mungkin?” Nathan mengangguk-anggukkan kepalanya kemudian kembali memalingkan wajahnya ke arah langit. Tangan kirinya terangkat, menerawang langit melalui sela-sela jarinya. “Tapi dimanapun itu, ada atau nggaknya, aku selalu berharap kalau suatu saat aku bisa dateng ke sana. Ke penghujung langit dan tinggal bersama milyaran bintang yang jauh disana.”

“Kedengerannya keren, kan?” sambung laki-laki itu.

Tanpa memalingkan sedikitpun pandangannya dari laki-laki itu, Hanin mengangguk pelan, “Iya, keren.”

“Tapi semua itu gak akan terjadi,” ujar Nathan dengan helaan nafas panjang di ujung kalimatnya.

“Karena mustahil?” tebak Hanin seraya menaikkan sebelah alisnya.

Nathan menggeleng pelan. “Karena aku gak bisa jamin kalau masih ada hari esok buat wujudin itu semua.”

Hanin diam. Membiarkan laki-laki itu melanjutkan kalimatnya.

“Mungkin buat mereka yang terlahir dengan kehidupan sempurna selalu berpikir akan selalu ada hari esok, akan selalu ada canda tawa di ruang makan keluarga ketika akhir pekan, akan selalu ada sambutan hangat ketika pulang sekolah, akan selalu ada segelas susu cokelat untuk pengantarmu tidur di setiap malam. Dan akan selalu ada hari berikutnya untuk mencapai segala impian.” tutur laki-laki itu dengan santai. Kini ia kembali menolehkan wajahnya ke arah Hanin, menatap lurus ke arah netranya kemudian menyambung kalimatnya. “Tapi orang kaya aku gak akan bisa gitu, Nin. Buat orang yang mengidap penyakit keras, setiap hari adalah hari terakhirnya. Bahkan membuka mata di hari yang berbeda adalah sebuah keberuntungan, karena kita ga akan pernah tau, kapan semesta kita akan berhenti berputar.”

“Kamu masih punya hari esok, percaya sama aku.”

Nathan menarik sudut bibirnya, membentuk sebuah senyuman tipis kemudian mengangguk pelan. “Semoga.”

Setelah itu tak ada percakapan apapun lagi diantara keduanya. Nathan dengan dunianya, dan Hanin dengan pikirannya yang berantakan. Mereka hanya sibuk memandang langit tanpa bintang dan merasakan segarnya udara malam melalui rongga hidungnya. Hingga keduanya tak sadar, 10 menit telah berlalu.

“Kamu inget gak waktu kita pertama kali ketemu?” lagi-lagi Nathan membuka percakapan.

Hanin tampak berpikir sejenak, kemudian kembali mengingat masa-masa itu. “Kita pertama ketemu di... sini. Kita ketemu disini di jam delapan malem. Iya kan?”

Nathan mengangguk. “Malam itu juga gak ada bintang di langit.”

“Iya, waktu itu seharian hujan dan baru reda lima belas menit sebelum kita kesini.”

“Iya”

“Aku inget banget waktu itu kamu mau ngerokok, kan?” tanya Hanin yang mulai antusias.

“Trus kamu rebut rokoknya,”

“Trus kamu marah,”

“Trus kamu lebih marah,”

“Haha iya,” gadis itu tertawa kecil. “Lucu deh kalo diinget-inget lagi.”

“Apa aja yang masih kamu inget?” tanya Nathan.

“Kayanya...” jawab Hanin memberi jeda. “Semua?”

“Aku mau denger bagian favorite kamu.”

“Bagian favorite?” tanya Hanin. Kini ia tampak berpikir. “Apa ya?”

“Apa aja, aku mau denger.”

Selama sepersekian detik gadis itu diam. Pikirannya menjelajah mundur untuk mengingat apa saja yang terjadi di masa itu. Masa dimana ia bertemu dengan pria angkuh bernama Nathan Damarion, untuk pertama kalinya.

“Aku suka waktu kamu ngenalin diri pake nama James ke orang asing, atau waktu kamu tiba-tiba pegang tangan aku pas ada yang ngajak kamu ngobrol.” tutur Hanin dengan tangan yang bergerak kesana kemari seolah-olah sedang menggambar sesuatu di udara. “Aku suka semuanya. Apalagi waktu kamu cerita tentang diri kamu, tentang apa yang kamu rasain, tentang apa aja yang udah kamu lalui selama ini.”

“Lagi,” pinta Nathan.

Hanin mengernyitkan keningnya kemudian mengubah posisi duduknya jadi menyamping. “Kamu suka pujian ya?”

Bukannya langsung menjawab, laki-laki itu justru mengangkat bahunya terlebih dahulu. “Mungkin?”

“Oke-oke.” Hanin kembali mengubah posisi duduknya seperti semula. Ia menyenderkan tubuhnya ke sandaran kursi taman kemudian menengadahkan kepalanya ke langit. Tangannya bergerak ke kanan dan ke kiri, menunjuk ke arah langit. “Aku suka waktu kamu ajarin aku main gitar, waktu kamu nyanyi, waktu kamu ceritain apa mimpi kamu di masa depan, atau waktu kamu jelasin benda apa aja yang ada di atas sana.”

Gadis itu terus mengoceh kesana-kemari menceritakan banyak hal yang tak ada habisnya. Hingga dirinya tak sadar bahwa penglihatan laki-laki disampingnya mulai kabur.

“Aku suka semuanya, Nath. Aku suka semua karena kamu yang jadi tokoh utama di cerita kita, bukan orang lain. Dalam bentuk apapun, aku pasti menyukainya.” Hanin menarik nafas panjang kemudian menghembuskannya perlahan. Tangan yang semula ia angkat kini mulai ia turunkan. “Kamu sendiri? apa bagian favorite kamu?”

Hanin menolehkan wajahnya, mengajak sang lawan bicara untuk saling beratatap satu sama lain. Namun baru beberapa detik, ia langsung terkesiap ketika mendapati laki-laki disampingnya tak sadarkan diri dengan keadaan pucat.

“Nath... Nathan.” “Nath, bangun.”

Hanin mengguncang pelan tubuh laki-laki itu, namun ia tetap tak bereaksi apapun. Matanya terpejam, bibirnya terlihat kering dan sekujur tubuhnya dingin seperti tak ada darah yang mengalir di dalam sana.

Nathan merekahkan senyumannya ketika mendapati dua pesan singkat yang dikirimkan sang ayah. Entah sejak kapan ia memimpikan untuk pergi berpiknik bersama keluarganya, rasanya sudah sangat lama. Meskipun mereka sudah pernah pergi berlibur beberapa bulan yang lalu, rasanya ia tetap merasa kurang. Mungkin karena jarak diantara dirinya dan Sean masih terlalu jauh kala itu.

Kini waktu sudah memasuki sore hari, matahari juga sudah mulai terlihat condong ke arah barat. Persiapan untuk pergi berpiknik juga sudah hampir selesai, makanan dan beberapa perlengkapan sudah dikemas dengan baik. Sekarang hanya tinggal menunggu kedatangan Rey saja, entah berapa lama lagi ia datang. Setengah jam lalu laki-laki itu berpamitan untuk pulang, dengan alasan ingin mengambil barang yang tertinggal. Entah barang apa, ia tak mengatakannya.

“Si Rey mana sih?” tanya Kale dengan posisi tubuh menyender pada sebuah sofa single sit yang ada di ruang rawat Nathan. “Lama banget dari tadi.”

Johan yang semula hanya fokus pada ponselnya kini mengalihkan pandangannya ke arah Kale, kemudian mengangkat kedua bahunya.

“Tinggalin aja, gimana?” tanya Kale sekenanya. “Keburu kesorean kalo ditunggu.”

“Jangan,” sahut Nathan memberi jeda. “Kasian.”

“Dia udah gede kali, Nath,” jawab Kale. “Tinggal shareloc aja, nanti juga dateng sendiri.”

Nathan menghela nafas singkat kemudian mengangguk pelan. Percuma saja jika ia terus meladeninya, Kale pasti akan terus memberikan jawaban.

“Yaudah kita tinggal aja,” putus Sean pada akhirnya. “Nanti Rey nyusul pake motor.”

Sebetulnya ini bukan masalah besar, karena kebetulan tempat yang mereka pilih untuk berpiknik juga tidak terlalu jauh dari sini. Rey tak akan keberatan jika pergi sendiri. Mungkin.


Setelah menempuh perjalanan hampir satu jam lamanya karena terjebak macet, akhirnya mereka sampai di salah satu area wisata di kota itu. Sebuah tempat yang cukup nyaman untuk dijadikan tempat berpiknik di akhir pekan. Tempatnya tidak terlalu ramai, tapi juga tidak sepi. Masih bisa terlihat beberapa orang berada di sekitaran sana.

“Rey udah sampe katanya,” ujar Johan memberi jeda. “Lagi jalan kesini.”

“Cepet banget sampenya,” sahut Abel yang tengah mengetuk-ngetukkan tongkatnya ke tanah. Hari kemarin ia baru saja melepaskan kursi rodanya dan menggantinya dengan tongkat, sebagai alat bantu. Lagipula kakinya memang tak terlalu parah, jadi ia cepat pulih.

“Ngebut kali,” timpal Kale dengan tangan sibuk menggelar tikar merah bermotif kotak-kotak yang sejak tadi ia bawa.

Hari ini Damarion dalam formasi lengkap. Tak ada yang absen atau berhalangan hadir untuk piknik pertamanya ini. Bahkan sepertinya tidak hanya Nathan yang bersemangat, karena dari apa yang bisa dilihat saat ini, Kale dan Johan terlihat lebih bersemangat dari yang lain. Mungkin karena ada makanan.

“Ih sandwichnya kok sedikit, Pa?” tanya Kale seraya menghitung sandwich sandwich yang ada di dalam wadah berwarna biru.

“Tinggal bikin lagi, itu bahannya masih ada.” Jawab Rey yang baru saja tiba disana.

“Yaudah si orang nanya doang,” Kale mendelik kemudian duduk di atas tikar yang baru saja ia gelar.

“Hari ini gak boleh berantem,” ancam Abel pada keduanya. “Awas aja lo berdua.”

“Iya kakak ku,” jawab Kale sekenanya.

“Rey?”

“Iya nggak, kak.”

Abel mengangguk kemudian memejamkan matanya. Meskipun sebenarnya sama saja, ditutup atau tidak ia tetap tak bisa melihat apapun. Ia menghirup udara dalam-dalam, kemudian menghembuskannya perlahan.

Semilir angin sore yang khas ditemani dengan sinar jingga dari matahari sore cukup menambah kehangatan hari ini. Akhir pekan dengan cuaca yang cerah adalah perpaduan yang sempurna untuk menghabiskan waktu bersama keluarga seperti saat ini.

Setelah membereskan semua barang yang ada, mereka mengatur posisi agar terasa nyaman. Mereka duduk mengitari tikar itu, dengan menyisakan salah satu sisi untuk Nathan dan kursi rodanya.

“Eh main game yuk,” usul Kale dengan senyum ceria di wajahnya.

“Game apa?” tanya Johan seraya menyuapkan sepotong kue kering yang sudah ia incar sejak siang tadi.

“Tell me the truth.”

“Gimana cara mainnya?” tanya Nathan yang ikut tertarik dengan arah pembicaraan Kale.

“Pake botol ini,” jawab Kale seraya mengacungkan sebuah botol minuman yang ada di dalam keranjang. “Botolnya diputer, terus nanti orang yang kena di bagian kepala botolnya harus ngasih tau satu kebenaran yang disembunyiin dari orang yang kena di bagian kaki botol. Gimana?”

“Gitu doang?” tanya Johan yang langsung disambut anggukan dari Kale. “Siapa takut.”

“Yang lain?” tanya Kale seraya menatap anggota keluarganya bergantian.

“Boleh,” jawab Sean dengan senyum tipis di bibirnya.

“Oke.” Ujar Kale seraya mengatur posisi duduknya agar lebih nyaman. Ia terlihat menyingkirkan beberapa makanan yang berada di area tengah, kemudian meletakkan botol minuman itu disana agar bisa menjangkau para pemain nanti. “Siap?”

“Ini gue ga bisa liat jadi jangan dicurangin ya.” pinta Abel.

“Iya.”

Kale meletakan tangannya di atas botol itu kemudian melihat ke arah Sean dan saudara-saudaranya yang lain bergantian. Hingga akhirnya ia memutar botol itu. Selama sepersekian detik, benda itu terlihat berputar. Mengarah ke arah Kale, Nathan, Rey, Johan, Abel, Sean, dan terus seperti itu secara berulang. Hingga akhirnya, benda itu berhenti dengan posisi kepala mengarah ke arah Kale dan kakinya ke arah Johan.

“Kale ke Johan,” ujar Sean spontan.

“Aduh, hehe...” lirih Kale canggung.

Johan menaikkan sebelah alisnya kemudian menatap Kale lekat-lekat, “Nyembunyiin apaan lo dari gue?”

“Itu...”

“Apa?”

Selama sepersekian detik, Kale hanya tersenyum canggung seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Yang nyolong cemilan di kamar lo itu gue, bukan Rey sama Nathan...”

“Anj-”

“Johan,” ujar Sean seraya menggelengkan kepalanya. “Jangan pelit sama sodara.”

“Dia nyolongnya sekardus, Pa.” Jawab Johan dengan suara sedikit lebih tinggi.

”...”

“He...he...”

Johan yang beberapa detik lalu sudah mengambil ancang-ancang untuk menyergap adik laki-lakinya itu, dalam segejap lansung saja berdiri. Ia berlari ngeitari tikar merah itu untuk menghampiri Kale untuk menangkapnya.

Namun, sang mangsa yang juga tak kalah sigap, langsung saja berlari menjauh. Laki-laki itu tertawa dalam jarak sekitar 8 meter kemudian mencibir Johan dari seberang sana.

“Sini lo,” perintah Johan tanpa melepaskan pandangannya dari Kale.

Bukannya takut, Kale justru semakin terpancing untuk terus membuat kakak laki-lakinya itu marah. Ia menjulurkan lidahnya dengan terus menggerakkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri seperti dengan menari. Tanpa menunggu aba-aba atau mengatakan sepatah katapun, Johan langsung berlari untuk mengejarnya.

Kegiatan kejar-mengejar itu berlangsung hampir 4 kali putaran pada sebuah pohon besar, hingga pada akhirnya Kale berhasil ditangkap dan mengakui kekalahannya. Semua yang ada disana hanya tertawa melihat tingkah keduanya, tak terkecuali Nathan.

“Udah-udah, ayo main lagi.” ujar Abel ketika mendengar suara Kale dan Johan sudah berada di dekatnya.

Kini Johan yang mengambil alih permainan, ia memegang bagian botol itu kemudian langsung memutarnya. Kali ini putarannya terlihat lebih cepat, karena laki-laki itu memutarnya cukup kencang. Botol terus berputar mengarah ke arah mereka secara bergantian, hingga akhirnya kepala botol itu mengarah ke arah Abel dan kakinya ke arah Kale.

“Kakak,” ujar Nathan tenang.

“Boong,”

“Beneran, tanya Papa.” Sahut Kale seraya menoleh singkat ke arah Sean.

“Iya bener,” jawab Sean sekenanya.

“Ke siapa?” tanya Abel datar.

“Ke gue,” jawab Kale dengan intonasi suara meledek.

“Apaan ya?”

“Apaan ayo? harus ngaku lho kak”

Selama beberapa saat, Abel terlihat berpikir. Hingga tiba-tiba ia membuka suara, “Oh motor lo.”

“Kenapa motor gue?” tanya Kale sedikit bingung.

“Ada di rumah bang Arkan,” jawab gadis itu santai.

“Hah?” Kale mengernyitkan keningnya bingung. Ia tampak berpikir keras, motor apa yang Abel maksud. Sampai akhirnya ia teringat akan sesuatu, “Motor yang...”

“Iya, yang waktu itu gue jual.” Jika sejak tadi gadis ini terlihat datar dan santai dalam menjawab, kali ini ada sebuah senyuman licik di bibirnya. “Sebenernya gak beneran gue jual, cuma gue simpen aja disana.”

Kale yang mendengar hal itu langsung membelalakkan matanya. “Anjir, lo kenapa gak bilang?”

“Ya lo sendiri, kenapa gak nanya?” Abel membalikkan pertanyaan.

“Motor apa?” sahut Sean yang terlihat kebingungan.

“Itu Pa, motor kesayangan Kale yang waktu Papa nanya kenapa motornya gak pulang-pulang, trus Kale jawab ilang, itu sebenernya dicolong sama dia nih.” Jelas Kale dengan nada sedikit kesal.

“Nggak kok, orang cuma minjem.”

“Mana ada minjem ga dikembaliin?” ketus Kale.

“Ih Pa, liat deh,” adu Abel kepada Sean. “Anak kecil marah-marah sama yang lebih tua, parah banget.”

“Kale.”

“Gue lagi gue lagi,” gerutu Kale ketika netranya dan Sean mulai beradu setelah pengaduan kakak perempuannya itu.

Dan untuk kesekian kalinya semua tertawa. Kecuali Kale tentu saja.


Di sisi lain Rey terlihat sibuk memakan sebuah sandwich dan beberapa salad buah yang ada di hadapannya. Sesekali ia ikut tertawa bersama yang lain, tapi tak jarang juga ia terlihat bungkam disaat yang lain tengah tertawa bersama.

Nathan yang sejak tadi terus memperhatikan saudara-saudaranya, kini memfokuskan perhatiannya pada Rey. Laki-laki berjaket bomber hitam itu terlihat hanya fokus pada makanannya. Tatapannya terlihat sayu dan kantung matanya hitam. Sangat jelas terlihat bahwa laki-laki itu tak tidur dalam beberapa hari ini. Nathan menundukkan kepalanya, melihat sepiring kecil jatah makannya, kemudian mengambil sebuah jeruk dari sana. Ia tampak menyapu singkat permukaan buah itu, hingga kemudian ia letakkan ke pangkuan Rey.

Rey yang semula tak sadar, kini menolehkan pandangannya ke arah Nathan. Ia sedikit menengadah karena posisi Nathan yang duduk di kursi roda lebih tinggi darinya.

Namun belum sempat ia berucap sepatah katapun, tiba-tiba Nathan bersuara dengan pelan. “Jeruk yang itu enak, cobain deh.”

Rey melirik sekilas ke arah piring yang ada di pangkuan Nathan. Masih utuh. Ia hanya menyentuh jeruk itu dan memberikan padanya.

“Lo belum makan jeruknya,” ujar Rey seraya mengembalikan jeruk yang Nathan berikan padanya. “Gue gak percaya.”

“Lo kan suka semua jenis jeruk,” jawab Nathan santai.

“Udah nggak,” ujar Rey kembali mengubah posisi duduknya dan mengabaikan Nathan. “Lo makan aja sendiri.”

“Gue kupasin ya,” gumam Nathan dengan tangan yang mulai mengupas kulit jeruk itu perlahan. Meskipun agak sulit, tapi ia coba sebisa mungkin.

Rey menghela nafasnya sejenak kemudian kembali menolehkan wajahnya ke arah Nathan. Entah apa yang ada di pikiran laki-laki berkursi roda itu, Rey tak tau. Ia bingung. Kenapa setelah semua yang ia lakukan padanya, ia masih tetap bersikap seperti ini. Bersikap seolah-olah tak ada yang terjadi diantara keduanya. Seolah-olah semuanya berjalan dengan baik-baik saja, dan tak pernah ada yang membuatnya sakit.

“Lo harus banyakin makan buah,” ujar Nathan di sela-sela kegiatanya. “Biar sehat, biar gak gampang sakit kaya gue.”

”...”

“Jangan sering begadang buat lakuin hal-hal yang bikin diri lo sendiri kecapean juga. Kalau susah, minta tolong orang lain.” tutur Nathan seraya menyerahkan kembali jeruk itu pada Rey. “Karena gak semua masalah bisa lo handle sendirian.”

“Lo juga kaya gitu, Nath.”

“Emang, makanya gue gak mau liat lo berakhir kaya gue.” Jawab Nathan dengan senyum hangat di bibirnya. Wajahnya yang pucat pasi terlihat begitu tulus ketika tersenyum. Entah sudah berapa banyak luka yang ia lalui, tak aka pernah bisa membuat senyumannya pudar.

Permainan berlanjut hingga semua mendapat bagian untuk saling mengungkapkan rahasianya satu sama lain. Disambung dengan perbincangan hangat tentang masa depan dan berakhir dengan mengambil belasan foto melalui kamera kesayangan Nathan, sebelum hari benar benar gelap. Jujur saja ini adalah satu dari sekian moments terbaik Nathan bersama keluarganya. Entah ini awal dari kebahagiaannya, atau hadiah terakhir baginya. Ia tak tau. Dan tak pernah tau.

Dentang jam dinding, beberapa suara alat medis, dan geratan dari kursi roda terdengar saling bersautan satu sama lain di dalam sebuah ruangan Rumah Sakit siang itu. Nathan yang semula memejamkan matanya bahkan hampir tertidur, kini kembali tersadar. Ia menolehkan wajahnya ke arah pintu masuk, ke arah seorang gadis berkursi roda yang baru saja tiba disana.

“HATCHI!!”

“Ih virus,” pekik Nathan ketika mendapatin kursi roda itu semakin mendekat ke ranjangnya. “Sana jauh-jauh.”

Abel menggesek singkat hidungnya yang memerah. Gatal. Sejak pagi tadi ia memang sudah bersin-bersin seperti itu, entah karena debu atau suhu udara yang dingin, ia tak tau. Dan tak ingin tau. Toh akan hilang dengan sendirinya nanti.

“Gak usah nges-HATCHI!!”

“Lagi bersin-bersin tuh anaknya, bawa keluar lagi, Jo.” Celetuk Nathan dengan santai. Ia mengulurkan tangannya, mendongkak sebuah gelas berisi air putih yang ada di atas nakas kemudian menegaknya.

“Gak usah berantem, lo berdua lagi sakit juga.” Sahut Johan yang baru saja melepaskan tangannya dari kursi roda Abel.

“Trus lo ngapain nyuruh gue kesini, hah?” sungut Abel terlihat kesal. “Jauh-jauh gue dateng kesini, pas sampe malah di usir.”

Nathan terkekeh pelan ketika mendapati raut wajah kesal dari kakak perempuannya. Tubuhnya sudah sedikit bertenaga hari ini, tidak sekuat itu tapi setidaknya ia sudah tak terlalu kesulitan untuk bergerak. Bahkan ia juga sudah bisa memainkan ponselnya kembali saat ini. Meskipun hanya dengan tangan kiri.

“Lagi pengen liat orang marah aja.”

“Rese.”

“Yaudah gue keluar dulu,” ujar Johan seraya berjalan menjauh ke arah pintu. “Kalau ada apa-apa panggil aja.”

Abel dan Nathan menganggukkan kepalanya, bersamaan dengan suara pintu yang ditutup.

“Lo udah enakan?” tanya Abel membuka percakapan.

“Lumayan,” jawab Nathan singkat.

“Pantes ngeselin.”

Nathan hanya mengangkat bahu. Sebenarnya ia tak berniat untuk membuat kakak perempuannya itu marah atau kesal seperti sekarang, tapi ia hanya ingin mencairkan suasana. Ia tak ingin suasana di tempat ini terus-menerus diselimuti kesedihan dan kekhawatiran, lagipula ia sudah merasa baik-baik saja sekarang. Jadi tak ada yang perlu mereka khawatirkan lagi.

Hening. Tak ada percakapan apapun diantara keduanya. Raut wajah Abel terlihat berubah sedikit muram, dan Nathan sadar akan hal itu.

“Itu apa, kak?” tanya Nathan kembali membuka percakapan. Kini pandangannya berpusat pada sebuah benda berbentuk kotak yang ada di pangkuan Abel.

“Foto kalian,” jawab Abel singkat. Dengan perlahan ia menggerakan tangannya, mengelus permukaan figura foto ditangannya dengan lembut.

“Kok bisa ada di kakak?” tanya Nathan memberi jeda. “Itu kan foto kita waktu SMP.”

“Kata bunda foto ini Papa kirim waktu hari ulang tahunnya,” jawab Abel tenang. Kini pikirannya menjelajah kembali ke masa lalu, masa dimana Riana dengan senyum cantiknya ketika melihat foto itu. “Jadi dia cetak biar dia bisa terus fotonya.”

“Berarti hubungan bunda sama papa baik-baik aja dong dulu?” lagi-lagi Nathan bertanya.

“Gak terlalu.” Abel menggelengkan kepalanya pelan. “Tapi gak seburuk itu juga.”

Nathan hanya mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti. Hanya mendengar sedikit ceritanya saja Nathan sudah bisa merasakan bahwa Riana adalah orang yang begitu hangat dan menyenangkan. Andai saja waktu lebih bersahabat dengannya, dan semesta lebih berpihak kepadanya, pasti ia bisa tinggal bersama dengan ibu kandungnya itu. Atau mungkin melakukan kemoterapi bersama, pasti akan menyenangkan.

Sebenarnya Nathan cukup sering bertemu dengan Riana dulu, dulu sekali. Jauh sebelum keluarganya hancur seperti sekarang. Bahkan Senna pun masih baik-baik saja saat itu. Seingatnya, Riana pernah berulang kali datang ke Sekolah Dasarnya hanya untuk mengajak ia berbicara dan memberinya bekal makanan. Saat itu Nathan juga tak terlalu pandai untuk bergaul dengan orang lain, jadi ia merasa cukup senang ketika Riana datang dan mengajaknya bicara. Saat itu Nathan hanya tau bahwa Riana adalah sahabat dari ibunya, Senna. Dan mungkin saja anaknya juga bersekolah di tempat itu, makanya ia sering datang. Tak pernah terlintas sedikitpun dalam benaknya bahwa wanita itu sengaja datang karena dirinya.

“Ceritain tentang bunda lagi dong kak,” pinta Nathan sedikit bersemangat.

“Bunda?” Abel balik bertanya. Gadis itu tampak berpikir sejenak. “Hmm, apa ya?”

“Apa aja.” Nathan mengangkat wajahnya, menatap gadis berkursi roda itu dengan saksama. “Nathan mau denger.”

“Bunda itu suka banget sama foto, ntah dia yang pegang kamera atau dia yang jadi objek kamera,” ujar Abel mulai bercerita. Kini kilasan-kilasan masa lalunya kembali muncul di kepalanya, ia merasa dirinya kembali ditarik ke masa itu. Masa dimana sang ibu dengan bangganya memamerkan berbagai macam kamera analog yang baru saja ia beli di toko barang bekas. Katanya benda itu sangat unik dan bernilai tinggi untuknya, ia jelaskan semua tentang benda itu dan bagaimana cara menggunakannya. Yang bahkan Abel sendiri tak tertarik untuk mendengarkan.

“Oh ya?” tanya Nathan antusias. “Dia punya kamera jenis apa aja?”

“Gak ngerti, tapi koleksinya banyak banget.”

“Gue mau liat dong, kameranya ada dimana?”

“Di Berlin,” jawab Abel memberi jeda. “Gue gak berani nyentuh apalagi mindahin itu semua.”

Nathan mengembuskan nafasnya kecewa. “Yah.”

“Tapi kalo lo udah bener-bener sehat, kita bisa kesana.” Ujar Abel di ujung helaan nafas adiknya. “Lo bisa liat-liat semua kameranya.”

“Sekalian ke makam bunda,” sambung gadis itu.

“Iya, nanti kita kesana.” Nathan menganggukkan kepalanya singkat. “Kalo gue ada umur.”

Mendengar jawaban Nathan yang seperti itu, dengan sigap Abel langsung melayangkan pukulan pada kakinya. Tidak terlalu keras, tapi cukup membuat laki-laki itu meringis. “Ada, jangan ngomong sembarangan lo.”

Nathan hanya terkekeh pelan mendengar ucapakn kakak perempuannya. “Terus terus, bunda gimana lagi, kak?”

“Bunda...” Abel terlihat berpikir lagi. “ Oh, katanya dia juga pernah jadi model majalah dulu.”

“Keren dong.”

“Iya, tapi akhirnya dia mutusin buat berhenti.”

“Kenapa?”

“Gak tau.” Abel menggeleng. “Bunda gak bilang.”

“Yah, gimana sih?”

“Ya gak tau!!”

Ditengah percakapan keduanya, tiba-tiba pintu terbuka. Terlihat seorang dokter dan dua orang perawat berjalan ke arahnya.

“Nathan, periksa dulu, ya?” ujar sang dokter.

Nathan mengangguk pelan, kemudian mengalihkan pandangannya pada Abel. “Kak, udah dulu ya ceritanya? nanti kita lanjut lagi.”

“Iya.” Abel mengangguk singkat. “Gue juga mau ketemu Dissa sama Millie dulu, katanya mereka mau kesini.”

Nathan menganggukkan kepalanya, bersamaan dengan seorang perawat yang datang untuk membantu mendorong kursi roda milik Abel.

Tapi sebelum ia benar-benar pergi, Abel kembali membuka suara.

“Nath,” panggilnya memberi jeda. “Lain kali ceritain tentang lo juga, ya?”

“Kenapa?”

“Kenapa apanya?”

“Kenapa harus cerita?”

“Gue juga mau tau tentang lo,” ujar Abel memberi jeda. “Tentang Papa, tentang Rey, tentang Johan, Kale. Tentang kalian semua.”

“Bukannya kakak udah tau semuanya?” tanya Nathan dengan santai. “Kita kan tinggal serumah.”

“Masih banyak yang gue gak tau tentang kalian.”

Seulas senyum tipis tercetak di bibir laki-laki berwajah pucat itu. “Yaudah, nanti kita cerita.”

Abel mengulurkan tangan kanannya, mengacungkan jari kelingking kemudian berkata. “Janji?”

Selama sepersekian detik Nathan diam, memperhatikan jari kelingking Abel yang menunggu sambutan darinya. Sejujurnya ia tak ingin berjanji perihal apapun dalam situasi seperti ini, entahlah rasanya ia selalu ragu saja. Ia tidak ingin membuatnya sedih jika tiba-tiba kondisinya drop seperti beberapa hari yang lalu.

Menyadari tak ada respon apapun dari adik laki-lakinya, Abel menurunkan kembali tangannya. Namun sebelum turun dengan sempurna, tiba-tiba sebuah jari kelingking yang lain menahannya.

Nathan mengaitkan jari kelingkingnya di jari Abel, kemudian tersenyum hangat. “Janji.”

“Kamarnya beneran yang ini kan?” tanya Nathan pada dirinya sendiri. Ia menyampingkan tubuhnya, mendekat telinga kanannya ke arah pintu kamar itu dengan harapan bahwa ia bisa mendengar suara seseorang di dalam sana. Hening. Tak terdengar suara apapun di dalam. “Kok sepi, ya?”

“Gak papa, Nath. Kalau salah kamar, lo tinggal minta maaf.” Gumam laki-laki itu dengan posisi tangan yang berada di knop pintu. Ia mengatur pernafasannya, kemudian dengan perlahan mendorongnya.

Sebuah hembusan nafas lega berhasil lolos ketika mengetahui bahwa kamar yang ia tuju ternyata benar. Kini dihadapannya terlihat seorang gadis berpiyama biru tengah duduk di ranjangnya. Rambutnya yang lurus terlihat bergerak kesana-kemari karena tertiup angin dari celah jendela. Matanya berkedip dengan tempo yang lambat, dan pandangannya terlihat kosong. Selama sepersekian detik Nathan hanya bisa diam di tempat. Memandangi Abel yang tak bergerak dari posisinya. Ragu rasanya untuk melangkah.

“Siapa?” “Papa?” “Rey?” “Johan?” “Nath-” ujar gadis itu tertahan. “Kale?”

“Ini Nathan, kak,” ujar Nathan dengan intonasi yang rendah.

Gadis itu tampak sedikit terkejut, matanya mengerjap dua kali lebih cepat. Kemudian dengan ragu, ia berkata, “N-Nathan?”

“Hmm,” gumam Nathan seraya mengangguk pelan. Meskipun sebenarnya hal itu juga tak berguna, karena Abel tak bisa melihatnya. Setelah rasa ragunya sedikit pudar, ia memberanikan diri untuk melangkahkan kakinya mendekat ke arah Abel. Sesekali ia juga terlihat membenarkan beanie hat abu-abu yang dikenakannya.

“Sini duduk, Nath.” Abel meraba-raba kursi yang berada di sampingnya. Meminta laki-laki itu agar duduk disana.

Nathan menarik sebuah kursi yang berada di samping ranjang itu, kemudian mendudukinya. Kursinya masih hangat. Sepertinya seseorang baru saja duduk di tempat ini beberapa saat yang lalu.

“Gimana keadaan kamu sekarang? udah membaik?” tanya Abel membuka percakapan. Tapi yang ditanya hanya diam, mengunci mulutnya rapat-rapat. Entah mengapa, melihat kondisi Abel yang seperti ini benar-benar membuatnya sakit.

Abel menghembuskan nafasnya panjang ketika ia tak kunjung mendapat jawaban dari pertanyaannya. Ia tak tau apa yang ada di pikiran adik laki-lakinya saat ini, tapi jika boleh ditebak, pasti dia masih merasa bersalah karena kejadian hari itu.

“Gue udah baik-baik aja sekarang, gue udah bisa duduk, gue udah bisa makan, dan udah bisa ketawa juga. Jadi lo gak perlu khawatir tentang apapun lagi, Nath.” Sambung Abel dengan suara yang lembut. “Gue juga gak marah atau nyalahin lo tentang kecelakaan hari itu. Jadi lo gak perlu ngerasa bersalah lagi sama gue, bahkan sama diri lo sendiri.”

“Maafin Nathan ya kak...” lirih laki-laki itu dengan raut wajah bersalah.

Abel menggelengkan kepalanya, tangannya bergerak mencari keberadaan adiknya. “Nggak nggak, lo gak perlu minta maaf. Karena lo gak salah apa-apa, Nath.”

“Nathan salah kak, Nathan udah sering buat kakak celaka. Bahkan di pertemuan pertama kita di sekolah, dengan gak sopannya Nathan malah ganggu kakak.” Tutur Nathan dengan nada suara yang semakin pelan.

“Yaudah, gue terima permintaan maaf lo. Gue juga mau minta maaf karena sering bikin lo marah dulu.” Lagi-lagi Abel menghela nafasnya berat. “Jangan ngerasa bersalah lagi ya, Nath? kita impas sekarang. Dan kalo lo mau, kita perbaiki semuanya bareng-bareng, kita mulai hidup baru sebagai adik-kakak pada umumnya. Yang dulu... anggap aja salam perkenalan.”

Nathan menengadahkan kepalanya, menahan air mata yang hampir jatuh dari tempatnya. Selama sepersekian detik ia diam. Mengatur pernafasannya yang berpacu sedikit cepat, hingga dengan pelan ia memanggil, “Kak...”

“Hmm?”

“Nathan boleh minta peluk?” pintanya ragu-ragu.

Abel mengangguk seraya menyeka air matanya yang mulai jatuh. Ia merenggangkan tangannya, memberi ruang agar Nathan bisa memeluknya.

Laki-laki itu mendekat, menyambut pelukan kakak perempuannya. Hangat. Itu yang bisa Nathan rasakan saat ini. Pelukannya terasa begitu nyaman, seperti dipeluk seorang ibu. Dalam diam ia memejamkan matanya, dan bulir-bulir air mata mulai membanjiri kelopak mata laki-laki itu bersamaan dengan dadanya yang terasa sesak. Dalam hati Nathan terus bertanya-tanya, kenapa tidak sejak awal saja semuanya terungkap? kenapa ketika tubuhnya mulai rapuh, dan penglihatan kakaknya hilang, semuanya baru terungkap? ini terlalu membuatnya sakit.

Kini tak ada percakapan apapun yang terdengar dari keduanya. Mereka diam. Saling mengeratkan pelukan yang ditemani dengan linangan air mata. Mungkin jika situasinya berbeda, mereka akan saling mengejek satu sama lain. Tapi saat ini, yang mereka bisa lakukan hanya saling menguatkan satu sama lain.


Sudah hampir satu jam lamanya Sean, Jordi bahkan adik-adiknya yang lain tak kunjung kembali. Entah kebetulan atau semesta memang sedang berpihak padanya hari ini. Ia seperti sedang memberi peluang untuk Abel dan Nathan agar bisa bercengkerama lebih lama dan melepas beban pikiran keduanya selama ini.

“Kenapa lo gak pernah bilang kalo lo sakit?” tanya Abel meminta penjelasan, sementara Nathan, ia justru menundukkan kepalanya.

“Kalo Nathan bilang, kalian bakal peduli?” suara Nathan terdengar agak parau, tapi cukup terdengar jelas di telinga Abel.

“Menurut lo?” tanya Abel yang tak habis pikir dengan pertanyaan yang baru saja Nathan ajukan padanya.

“Nathan nanya, kak.”

“Kita pasti peduli, Nath.”

Nathan memejamkan matanya yang terasa berat, kepalanya sakit. Tapi ia harus tetap tenang dan menahannya sampai ia kembali nanti. “Ya itu kan kakak, belum tentu sama yang lain.”

“Itu cuma asumsi lo aja.”

Nathan membuka matanya kemudian memalingkan pandangannya pada Abel. “Kakak kan tau hubungan Nathan sama yang lain kaya gimana, terutama Papa.”

“Kalian emang sering berantem, Nath. Bahkan gue juga. Tapi bukan berarti mereka, terutama papa, gak punya sisi kemanusiaan dengan gak peduli sama kondisi lo,” jelas Abel dengan tenang.

“Sekarang Nathan balik, itu juga cuma asumsi kakak aja,” jawab laki-laki berwajah pucat itu dengan santai.

“Oke oke, kalo mereka beneran gak peduliin lo, seenggaknya lo masih punya gue, kan?”

“Kakak gak malu punya adek penyakitan kayak Nathan? kakak gak takut sama papa karena terus-terusan peduliin Nathan? kakak-” tanya laki-laki itu tertahan.

“Penyakit itu dateng bukan berdasarkan keinginan lo, kan? dan gue gak ada hak buat malu atau ngejauhin lo karena hal itu.” potong Abel dengan suara yang hampir habis. “Hak gue cuma jagain lo, sama nemenin lo sampe sembuh nanti.”

“Kak.”

“Gue gak butuh persetujuan lo, Nath.”

“Kenapa?”

“Kenapa apa?”

“Kenapa kakak tetep baik setelah apa yang Nathan lakuin?”

“Lo gak lakuin apa-apa, Nath. Gue kan udah bilang, itu cuma salam perkenalan.”

Selama beberapa saat tak ada yang membuka suara diantara keduanya. Hening. Kini yang terdengar hanya perbincangan kecil dari orang-orang yang berjalan melewati kamar itu.

“Makasih ya, Kak.” Nathan kembali membuka suara.

“Buat?”

“Semuanya, entah kakak beneran tulus atau nggak, tapi kata-kata kakak barusan udah buat Nathan tenang. Ya seenggaknya buat hari ini.” Tutur Nathan dengan kepala yang sedikit menunduk.

Abel mengangguk, raut wajahnya yang semula muram, kini terlihat sedikit membaik. Ia tersenyum. “Bertahan ya, Nath? jangan pernah nyerah. Lo harus berjuang biar bisa sembuh. Bukan demi gue, Bunda, bahkan yang lain. Tapi bertahan demi diri lo sendiri, demi kebahagiaan lo.”

Lagi-lagi mata cokelat Nathan terpejam, menyisakan deretan bulu mata yang lentik disana. Sudut bibirnya terangkat, membentuk sebuah senyuman pahit yang terpampang cukup jelas disana. “Nathan gak akan nyerah cuma karena semesta jahat sama Nathan hari ini, Kak. Karena bisa aja, semesta akan lebih jahat di hari berikutnya.”

Abel diam, matanya kembali memanas saat ini. Ingin sekali rasanya ia lepaskan air mata yang hampir mendobrak kedua matanya saat itu juga, dan meraung dengan keras. Hatinya begitu sakit setiap kali Nathan mengeluarkan kata demi kata dari mulutnya. Tapi ia tak bisa. Ia tak boleh menangis, ia harus tetap terlihat kuat, agar Nathan juga bisa kuat. Meskipun sebenarnya, Nathan memang sudah sangat kuat karena bertahan hingga detik ini.

“Itu yang Papa bilang waktu Nathan kecil dulu,” lirih Nathan menyambung kalimatnya.

“Lo anak baik, Nath. Lo berhak sembuh dan hidup bahagia. Gak selamanya semesta bersikap jahat sama lo. Dia punya rencana yang baik untuk orang-orang yang baik juga. Makanya lo dikasih cobaan dulu sekarang, biar bahagia lo bisa dateng nanti.” Abel memejamkan matanya sejenak. “Tanang aja, Nath. Semesta selalu ada di pihak orang-orang baik.”

“Mungkin kakak bener, semesta emang selalu ada di pihak orang-orang baik,” ujar Nathan memberi jeda. “Tapi Nathan gak cukup baik, kak. Nathan gak termasuk dalam golongan orang-orang baik yang kakak maksud itu. Jadi hak Nathan buat bahagia juga sedikit. Atau mungkin gak ada. Makanya Nathan ambil cara lain buat balikin keadaan, biar Nathan aja yang bikin orang-orang bahagia.”

“Kalo gitu, lo harus lawan semesta. Lo harus egois, lo harus teriak biar semesta denger kalo lo juga mau bahagia,” ujar Abel memberi jeda. “Sekali-sekali gak papa kalau mau egois sama keadaan, Nath. Lo gak boleh diem aja disaat semesta bikin hidup lo hancur.”