Tentang sang bintang

Setelah selesai meletakkan sepiring nasi dengan semangkuk sop ayam untuk Abel, Rey melangkahkan kakinya pergi. Hari ini ia terasa lebih segar dan jauh lebih baik dari sebelumnya, mungkin karena jam tidurnya yang berangsur normal juga makanya ia merasa seperti itu.

Kakinya melangkah menuruni satu persatu anak tangga untuk menuju ke lantai bawah, namun baru beberapa langkah, kakinya tiba-tiba terhenti. Matanya menangkap sosok pria dengan kaus putih dengan sebuah kemoceng di tangannya tengah bersenandung pelan. Ia menyipitkan matanya kemudian kembali naik dan melangkahkan kakinya mendekat ke arah pria itu.

“Pa?” panggil Rey yang kini ia sudah berdiri di ambang pintu.

“Rey?” Sean membalikkan tubuhnya kemudian tersenyum hangat ke arah Rey. “Papa lagi beresin kamar Nathan, takutnya dia gak mau tidur disini lagi kalau kamarnya kotor.”

“Liat, koleksi foto-fotonya juga banyak debu gini,” ujar Sean yang kembali memfokuskan dirinya pada benda-benda sekitar. Kini di tangannya terlihat ada sebuah figura foto, berisi hasil jepretan bunga mawar putih dengan gradasi warna ala-ala vintage disana. “Harus Papa bersihin.”

“Pa...” lirih Rey perlahan.

“Kameranya... kameranya juga banyak debu.” Sean beranjak dari tempatnya, ia melangkahkan kakinya ke sebuah lemari kaca berwarna hitam yang berada di sudut ruangan. Di dalamnya terdapat berbagai macam jenis kamera yang menjadi koleksi Nathan. “Aduh dia kenapa selalu pake kamera yang itu-itu aja, sih? disini kan masih banyak.”

“Pa, udah...” lagi-lagi Rey kembali bersuara.

Bukannya menjawab, pria itu justru bersikap acuh. Ia bergerak maju, meraih sebuah gitar tua yang sangat familiar di matanya. “Gitar ini biasanya dia simpen dimana ya? deket kasur atau deket lemari?”

Ia tampak berpikir sejenak, kemudian mengalihkan pandangannya pada Rey. “Menurut kamu, gimana?”

Rey yang sudah mulai lelah dengan tingkah sang ayah langsung menghela nafasnya berat. “Pa, udah.” Ia melangkah maju, mendekat ke arah pria itu kemudian memeluknya. “Udah, ya? Papa harus sadar. Papa harus belajar ikhlas kaya yang lain, emang awalnya susah, bahkan buat Rey juga. Tapi papa harus coba.”

Sean diam, lututnya terasa melemas dan tangannya bergetar. Rey yang menyadari Sean hampir kehilangan keseimbangan kini menariknya ke ranjang, membiarkannya duduk dan mengatur pernafasannya.

Selama sepersekian detik hanya ada keheningan diantara keduanya. Hingga pada akhirnya, Sean kembali membuka suara.

“Papa tau, Rey. Papa sadar sama semua yang papa lakuin, papa cuma ga mau kalian bener-bener anggap Nathan pergi dari rumah ini aja. Papa selalu ngerasa Nathan ada di sini, di rumah ini, jagain kita,” tuturnya dengan suara yang begitu pelan.

“Pa...”

“Papa cuma mau jadi ayah yang baik buat Nathan,” lirihnya dengan suara yang mulai bergetar. “Gak ada yang lain...”

“Iya Rey tau, Rey paham banget apa yang papa rasain karena Rey juga ngerasain hal yang sama.” ujar laki-laki itu tanpa melepaskan pelukannya dari sang ayah. Tangannya mulai bergerak, mengelus punggung pria itu dengan harapan akan memberi sedikit ketenangan padanya. “Tapi sikap papa yang kaya gini ga bisa Rey benerin juga. Kita ga harus lupain dia, kaya yang papa kira. Cukup ikhlasin aja kepergiannya.”

“Tapi-”

“Pelan-pelan, nanti juga bisa.”

Sean diam. Ia tak sanggup lagi mengeluarkan sepatah katapun dari mulutnya.

Dengan perlahan, Rey melepaskan pelukannya. “Yaudah, sekarang papa turun trus makan, tadi Rey sama Kale udah masak sesuatu buat sarapan.”

“Kakak?”

“Udah Rey anterin makanannya,” jawab Rey seraya bangkit dari duduknya. “Rey pergi dulu, ya?”

“Kemana?”

“Jalan-jalan sebentar, ini kan hari minggu,” ujar laki-laki itu kemudian merekahkan senyumannya.

“Hati-hati.”

“Iya.”


Rey melangkahkan kakinya turun, menuruni satu-persatu anak tangga untuk menuju ke lantai bawah. Samar-samar ia mendengar suara piring dan sendok yang beradu, ditemani dengan perdebatan kecil antara kedua adik laki-lakinya.

“Makanan punya lo yang itu,” ujar Johan seraya menjauhkan sebuah piring berisi nasi dan ayam goreng ditangannya. “Ini punya gue!”

“Tapi punya lo lebih enak,” rengek Kale dengan tangan terus berusaha meraih piring yang Johan pegang. “Minta dikit.”

“Jangan rebutan, itu udah ada bagiannya masing-masing,” timpal Rey yang baru saja tiba ke meja makan.

“Dia tuh,” tunjuk Johan dengan wajah kesal. “Minta-minta mulu jadi orang.”

“Dikit doang,” sahut Kale tak mau disalahkan.

“Kasih sesuap aja, biar diem,” ujar Rey seraya menyuapkan tempe goreng ke dalam mulutnya.

“Tuh denger,” cibir Kale. Ia memutar bola matanya malas kemudian menyodorkan telapak tangannya ke arah Johan. “Buruan minta.”

Dengan berat hati, mau tak mau Johan harus mengembalikan piringnya ke posisi semula. Ia menyodorkan benda itu agar Kale bisa mengambil beberapa makanannya, namun dengan tangan kiri yang menodongkan garpu. “Jangan banyak-banyak! lo kalo minta suka gatau diri.”

“Iya elah, pelit amat.”

Rey hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah Kale dan Johan. Sesekali ia juga tertawa karenanya. Meski sebenarnya ini bukan kali pertama ia harus menyaksikan pemandangan seperti ini.

“Rapih banget pagi-pagi gini, mau kemana?” tanya Johan tiba-tiba. Kini pandangannya menatap lurus ke arah Rey.

“Jalan-jalan, kan hari minggu,” jawabnya singkat.

Johan hanya ber-oh ria kemudian kembali memfokuskan dirinya dengan makanan.

“Trus papa kemana?” tanya Kale dengan mulut yang penuh dengan makanan.

“Di atas,”

“Ngapain?”

“Bersih-bersih,” jawab Rey memberi jeda. “Kaya biasa lah.”

Kale dan Johan yang sudah mengerti apa maksud dari ucapan Rey hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Yaudah gue cabut dulu,” ujar Rey setelah menegak segelas air putih yang ada di sebelah kirinya. “Johan jangan lupa cuci piring, hari ini bagian lo.”

“Iya.”

Setelah dirasa selesai, Rey segera bangkit dari tempat duduknya kemudian melangkah pergi. Namun baru beberapa langkah, tiba-tiba Kale memanggilnya.

“Rey.”

“Apa?”

“Nih nih bawa,” ujarnya seraya menyodorkan sebuah cup berisi hot americano padanya. “Biar ga ngantuk.”

“Buat kalian emang masih ada?”

“Ada, ini banyak kok,” ujar Johan seraya membuka sebuah paper bag berwarna putih yang ada di atas meja. Tangannya bergerak menunjuk satu persatu minuman itu kemudian menghitungnya. “Ada satu, dua, tiga, empat, lima, enam, ada enam.”

“Enam?” Rey mengernyitkan keningnya. “Satu lagi buat siapa?”

“Bang Lio kali, tadi kan dia kesini,” jawab Kale.

“Enggak, tadi kita pesennya sebelum dia kesini,” timpal Johan seraya menegak salah satu hot americano itu.

“Siapa yang pesen?” lagi-lagi Rey bertanya.

“Papa.”

Laki-laki dengan leather jacket itu hanya menghela nafasnya berat. Ia tak akan terkejut lagi jika Sean melebihkan porsi pesanannya lagi. Entahlah jika ditanya pun ia hanya menjawab 'buat Nathan' dan selalu seperti itu. Yang bisa ia lakukan juga tak banyak selain mengiyakan dan memaklumi keinginannya. Bahkan yang lain juga.

“Yaudah lah, kalian kan tau sendiri,” ujar Kale seraya melangkahkan kakinya kembali ke meja makan.

Rey yang semula berniat untuk langsung pergi, kini berbalik. Ia mengambil paper bag itu kemudian mengeluarkan beberapa hot americano yang ada di dalam sana, dan menyisakan dua untuknya.

“Eh eh ngapain lo?”

“Gue ambil dua,” ujarnya dengan tenang. “Pergi dulu ya.”

“Hati-hati,” “Jangan ngebut.”

“Iya.”

Setelah itu punggungnya benar-benar menghilang di balik tembok menuju ruang depan. Entah kemana sebenarnya laki-laki itu akan pergi, ia tak mengatakan apa-apa selain jalan-jalan.


Setelah mengemudi hampir 20 menit lamanya, akhirnya Rey sampai di sebuah pemakaman yang cukup sering ia kunjungi belakangan ini. Pagi ini cuaca terlihat lumayan cerah dan hangat. Sinar mentari pagi juga tampak menyinari beberapa nisan disana.

Laki-laki itu berjalan santai, melewati pepohonan rindang dan rumput hijau di jalan setapak yang ia lalui. Sesekali ia terlihat merapatkan jaketnya karena terasa dingin. Ia terus berjalan, dengan santai dan hati yang hangat, hingga tiba-tiba ia menghentikan langkahnya di sebuah makam yang terlihat masih cukup baru dengan taburan bunga diatasnya. Sepertinya seseorang datang lebih awal darinya hari ini. Jika tebakannya benar, orang itu pasti Hanin.

“Hi Nath, gue dateng lagi,” sapa laki-laki itu seraya menarik sudut bibirnya, membentuk sebuah senyuman hangat. “Sorry kepagian, kalo agak siang gue ada acara sama anak-anak seni.”

Kini tangannya bergerak membersihkan beberapa dedaunan kering yang jatuh di sekitar makam itu, “Lo tau gak? sekarang gue gabung jadi anggota seni lagi, gue gabung ke band kita dulu dan jadi vocalist kaya dulu. Kaya yang lo mau. Sorry waktu itu gue nolak-nolak ajakan lo buat balik dengan alesan yang ga masuk akal, gue ga beneran benci sama band kita kok, kadang-kadang gue masih suka nyanyiin lagu kita kalo lagi mandi, atau lagi ngelukis.”

“Sorry juga kalo gue segatau diri itu karena sering datengin lo cuma buat cerita tentang apa aja yang terjadi di hidup gue akhir-akhir ini,” tuturnya dengan suara yang semakin memelan. Ia memejamkan matanya sejenak, kemudian mengatur pernafasannya. Membiarkan udara segar di tempat ini menerobos indera penciumannya selama beberapa saat.

“Oh iya, gue juga bawa ini.” Rey mengangkat paper bag putih yang sejak tadi ia bawa kemudian menunjukannya, seolah-olah Nathan memang sedang berada di sampingnya. “Hot americano favorite lo, gue gak tau lo bakal suka atau nggak soalnya bukan gue atau anak-anak yang pesen, tapi papa.” Kini wajahnya berubah sendu.

“Lo tau ga? sejak lo ga ada dirumah, papa jadi lebih sering tidur di kamar lo daripada di kamarnya sendiri. Dia juga kebih sering ngabisin waktu disana buat sekedar liat-liat hasil jepretan lo yang dipajang di kamar itu.” Ia kembali bercerita, kini tangannya bergerak menggulir flip pada cup itu agar ia bisa meminumnya. “Papa sayang banget sama lo, Nath. Dia bilang dia mau jadi ayah yang baik buat lo, buat kakak, buat kita, buat kelima bintangnya.”

Sebuah helaan nafas berhasil ia loloskan setelah tegakkan pertama pada kopinya. Ia mengubah posisi duduknya menjadi menyamping, kepalanya menengadah dan pandangannya lurus ke arah langit.

“Lo inget gak waktu kita masih kecil dulu? waktu kita kepisah di bandara cuma gara-gara cari ice cream?” tanya laki-laki itu dengan suara seolah-olah meminta jawaban. Meskipun sebenarnya ia tau, tak akan ada yang menjawabnya. “Waktu itu kita kena marah ayah lama banget sampe kita semua hampir ketinggalan pesawat. Trus mama gak belain kita sama sekali, dia cuma ketawa sambil bilang makanya jangan bandel, trus gue nangis deh.”

“Lo inget ga waktu itu papa bilang apa? papa bilang kita berempat itu seperti bintang, kita empat sisi bintang yang tak boleh terpisah sebelum menemukan satu bagian lain yang hilang.” Tuturnya memberi jeda. “Dulu gue cuma bisa mikir, papa aneh, ngelantur, atau apapun itu karena dulu gue masih kecil dan ga ngerti apa-apa.”

“Tapi sekarang gue paham, Nath.” Kini seulas senyum tercetak di bibirnya. “Gue paham maksud dari perumpamaan bintang yang papa bilang waktu itu.”

“Empat sisi itu kita, gue, lo, Kale sama Johan. Dan bagian yang hilangnya itu kakak.” Ia menegak kembali kopinya kemudian mengubah posisi duduknya seperti semula. Kini pandangannya kembali berfokus pada sebuah nisan dengan nama Nathan Damarion disana. “Lo tau bangun datar bintang, kan?” tanya Rey dengan suara yang begitu rendah.

Rey meletakkan kopinya ke samping kemudian menundukkan kepalanya, tangannya bergerak menggambar sesuatu pada permukaan tanah di samping makam itu. “Dia memiliki lima sisi dengan lima bentuk yang sama besar. Kemanapun arahnya, bentuknya akan tetap sama dan akan tetap menjadi bintang. Kita juga harus seperti itu, apapun masalahnya, bagaimanapun keadaannya, kita harus tetap berlima agar menjadi bentuk bintang yang sempurna. Jika hilang satu, bukan bintang namanya.”

Ia menghela nafasnya berat, selama sepersekian detik matanya terpejam. “Dan sekarang kita harus kehilangan satu sisi itu, Nath.”

“Satu sisi itu pergi, dan bersinar seorang diri disana.” Sambung Rey seraya menunjuk ke arah langit. “Tenang-tenang ya disana? lo tetep bagian dari kita, meskipun tempat kita udah beda.”