Bintang yang tertidur

Hampir empat jam lamanya Nathan pingsan dan tak sadarkan diri, beberapa kabel dan selang terlihat dipasang di tubuhnya. Suara dari beberapa alat medis dan gumaman para pengunjung juga terdengar saling bersautan satu sama lain. Di dalam ruangan itu hanya ada kelima anggota keluarganya, Sean, Abel, Rey, Johan dan Kale. Mereka semua berada di sini, di tempat ini, tepat setelah Nathan dan Hanin kembali. Semuanya kacau. Rasa khawatir, takut dan sedih semua bercampur menjadi satu.

“Nathan cuma tidur, kak.” ujar Johan menenangkan. Ia merengkuh gadis itu kemudian memeluk gadis yang tengah menangis itu. “Tenang ya?”

“Tapi ini udah lebih dari 4 jam,” suara paraunya terdengar menggema ruangan itu.

“Dia lagi istirahat,” sahut Kale yang duduk di kursi single sit yang ada di ruangan itu. Dari keempat anggota keluarganya yang lain, dirinya lah yang paling akhir mengetahui bahwa Nathan ditemukan tak sadarkan diri. Dan pikirannya benar-benar kacau saat ini.

“Terus kalo dia gak bangun lagi gimana?”

“Abelia!” sentak Rey di sudut ruangan. Sejak tadi ia hanya diam dan sibuk berkutat dengan pikirannya. Tapi ketika mendengar kalimat yang baru saja kakaknya ucapkan, kekesalannya tiba-tiba memuncak.

“Dia gak gerak sama sekali, Rey.” Abel kembali bersuara. Sorot matanya yang kosong dan pelupuk matanya yang sudar dibanjiri air mata cukup menjelaskan bahwa gadis itu benar-benar kalut dengan kondisi adiknya yang tiba-tiba memburuk.

“Dia cuma kecapean, kakak gak inget tadi siang dia bilang apa?” Rey mengangkat kepalanya, mata cokelatnya menatap lurus ke arah Abel. Kemudian dengan pelan, ia melanjutkan kalimatnya. “Dia terus-terusan bilang cape dan mau istirahat.”

“Jangan berisik,” gumam Sean dengan intonasi suara yang rendah, sangat rendah hingga rasanya nyaris berbisik. Tangannya terus bergerak, mengusap pipi putranya dengan harapan ia akan bereaksi dan membuka matanya. “Nathan kita sedang tidur.”

Johan yang semula hanya diam dan berpegang teguh pada pendiriannya kini mulai goyah. Matanya terasa memanas dan air mata di dalamnya siap pecah kapan saja, namun sebelum hal itu benar-benar terjadi, ia menengadahkan kepalanya. Ia yakin tak hanya dirinya yang merasakan hal seperti ini.

“Hari ini pasti jadi hari yang panjang buat dia,” Sean kembali bersuara. Sorot matanya yang sendu, dan air mata yang tak henti-hentinya menetes jelas menunjukkan semua kesedihan yang tengah dirasakannya.

“Pa...” suara parau itu berhasil Nathan loloskan dengan mata setengah terpejam. Suaranya terdengar berat dan tertahan karena alat bantu pernapasan yang terpasang padanya. Matanya terbuka perlahan dan tangannya bergerak sedikit demi sedikit.

“Nathan?”

Lirihan Nathan berhasil membuat semua yang ada disana terkesiap dan langsung mendekat ke arahnya. Tak terkecuali Kale dan Rey.

“Kamu rasain sesuatu?” “Ada yang sakit?”

Pertanyaan-pertanyaan itu langsung mereka lontarkan pada Nathan dalam waktu yang bersamaan. Namun bukannya menjawab, laki-laki itu justru malah menarik sudut bibirnya, membentuk sebuah senyuman tipis disana. Meskipun terhalang, tapi mereka masih bisa melihatnya dengan jelas.

“Lihat, dia bisa senyum sekarang,” ujar Kale dengan netra yang tertuju pada saudara laki-lakinya.

“Nathan gak papa,” lirih Nathan dengan intonasi suara yang begitu rendah.

“Dasar angkuh,” Dibalik tubuh tinggi Kale, diam-diam Rey menjatuhkan air matanya. Entah sudah berapa kali dirinya menangis hari ini, ia merasa matanya sudah sangat sakit dan hampir membengkak. Ia tak habis pikir, bagaimana bisa disaat kondisinya sudah seperti ini, dan disaat wajahnya sudah sepucat mayat, ia masih mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja.

Mereka semua berdiri mengelilingi ranjangnya, saling memandang satu sama lain tanpa ada yang mengeluarkan sepatah katapun. Hingga tiba-tiba Nathan menggerakkan tangannya memberi isyarat.

“Kenapa?” “Sakit?” “Nath?”

Tak ada jawaban apapun darinya. Laki-laki itu terlihat membuka mulutnya, hendak mengatakan sesuatu namun tertahan.

“Kertas,” ujar Kale tiba-tiba. “Ambilin kertas.”

Rey mengedarkan pandangannya menyapu sekeliling ruangan mencari sesuatu yang barh saja Kale ucapkan. Hingga tiba-tiba netranya menangkap sebuah notebook berwarna abu-abu yang tergeletak di atas meja. Dengan sigap, ia langsung mengambilnya dan memberikannya pada Kale.

“Ini, tulis disini.” ujar Kale seraya menyodorkan benda itu pada Nathan.

Dalam beberapa saat laki-laki itu diam. Sorot matanya menatap lurus ke depan, ke arah jam dinding yang menempel di dinding kamar itu. Waktu sudah menunjukkan pukul 23.59, dan masih kurang satu menit lagi menuju tengah malam.

“Nath?” panggil Johan perlahan.

Tetap tak ada jawaban. Kini laki-laki itu mengalihkan pandangannya pada Abel sejenak. Menatap gadis itu lekat-lekat dengan mata yang hampir mengatup. Setelah itu ia mulai mengguratkan sesuatu di halaman paling belakang buku itu, dengan sorot mata yang nanar dan tangan bergetar.

Semua diam, tak ada yang bersuara maupun mengubah posisinya. Mereka membiarkan laki-laki itu menulis apa yang ingin ia sampaikan. Hingga tepat ketika pergantian hari, ia melepaskan penanya dari buku itu.

“Apa yang dia tulis?” tanya Johan entah pada siapa.

Kale mengambil alih buku itu kemudian mulai membacanya. Dalam beberapa saat ia tepaku, matanya yang sudah memerah sejak tadi tak berkedip sedikitpun. Kini matanya mulai terlihat berkaca-kaca, ada air mata yang siap jatuh kapan saja. Kale mengatur pernapasannya sejenak, kemudian dengan suara pelan ia bersuara. “Selamat ulang tahun, kakak.”

Tepat di akhir kalimat yang Kale ucapkan, bedside monitor yang terpasang di samping ranjangnya tiba-tiba mengeluarkan suara yang nyaring dan panjang. Semua orang yang ada di sekeliling langsung tersentak, mereka semua menoleh ke arah monotor yang menampilkan garis lurus tak berujung.

“DOKTER!!” “DOKTER!!” “PANGGIL DOKTER SEKARANG!!”

Teriakan ada dimana-mana. Semua orang mulai panik, tak terkecuali Rey. Laki-laki itu berlari keluar ruangan dan berteriak dengan lantang di lorong Rumah Sakit untuk memanggil para dokter, perawat, atau siapapun yang bisa menolong adiknya. Bahkan ia sampai melewatkan tombol darurat karena terlalu kalut dengan keadaan.

Dalam waktu yang sikat, seorang dokter dan beberapa perawat berlarian masuk. Dengan beberapa alat medis yang dibawanya, mereka tampak memberi pertolongan padanya.

Situasi menjadi kacau dalam sekejap, semua orang panik dan khawatir dengan laki-laki yang terbaring lemah di ranjang putih itu.

“Nathan!” teriak Abel dengan tangan yang terus memberontak. Ia ingin berlari, menghampiri laki-laki itu dan memeluknya dengan erat. Namun langkahnya tertahan karena Johan tak membiarkannya pergi. Laki-laki itu memeluknya, berusaha membuatnya tetap tenang.

“Jakarta, 5 Desember 2021. Pukul 00.05 AM.” ujar sang Dokter pada salah satu perawatnya. Satu kalimat penegasan yang mampu membuat siapapun yang mendengarnya langsung terpaku.

Bahkan Abel yang sejak tadi memberontak pun langsung diam dalam sekejap. Ia merasa lemas di sekujur tubuhnya, lututnya bergetar hebat dan kerongkongannya tercekat. Ia menjatuhkan tubuhnya ke lantai, kemudian meraung dengan keras, menumpahkan segala kesedihannya disana. Tanpa penghalang dan tanpa kata penenang pada siapapun. Ia menumpahkan semuanya. Dari sekian banyak skenario yang ia buat di kepalanya, skenario terburuk lah yang menjadi kenyataan. Dan itu adalah mimpi buruk baginya. Mimpi terburuk yang pernah ada.

Kini satu dari lima sisi bintang itu padam. Matanya terpejam sempurna dan takkan pernah terbuka untuk selamanya. Ia tertidur dengan tenang disana. Bahkan ketika ada bagian lain yang berusaha memberinya cahaya, ia akan tetap padam.