Piknik Keluarga

Nathan merekahkan senyumannya ketika mendapati dua pesan singkat yang dikirimkan sang ayah. Entah sejak kapan ia memimpikan untuk pergi berpiknik bersama keluarganya, rasanya sudah sangat lama. Meskipun mereka sudah pernah pergi berlibur beberapa bulan yang lalu, rasanya ia tetap merasa kurang. Mungkin karena jarak diantara dirinya dan Sean masih terlalu jauh kala itu.

Kini waktu sudah memasuki sore hari, matahari juga sudah mulai terlihat condong ke arah barat. Persiapan untuk pergi berpiknik juga sudah hampir selesai, makanan dan beberapa perlengkapan sudah dikemas dengan baik. Sekarang hanya tinggal menunggu kedatangan Rey saja, entah berapa lama lagi ia datang. Setengah jam lalu laki-laki itu berpamitan untuk pulang, dengan alasan ingin mengambil barang yang tertinggal. Entah barang apa, ia tak mengatakannya.

“Si Rey mana sih?” tanya Kale dengan posisi tubuh menyender pada sebuah sofa single sit yang ada di ruang rawat Nathan. “Lama banget dari tadi.”

Johan yang semula hanya fokus pada ponselnya kini mengalihkan pandangannya ke arah Kale, kemudian mengangkat kedua bahunya.

“Tinggalin aja, gimana?” tanya Kale sekenanya. “Keburu kesorean kalo ditunggu.”

“Jangan,” sahut Nathan memberi jeda. “Kasian.”

“Dia udah gede kali, Nath,” jawab Kale. “Tinggal shareloc aja, nanti juga dateng sendiri.”

Nathan menghela nafas singkat kemudian mengangguk pelan. Percuma saja jika ia terus meladeninya, Kale pasti akan terus memberikan jawaban.

“Yaudah kita tinggal aja,” putus Sean pada akhirnya. “Nanti Rey nyusul pake motor.”

Sebetulnya ini bukan masalah besar, karena kebetulan tempat yang mereka pilih untuk berpiknik juga tidak terlalu jauh dari sini. Rey tak akan keberatan jika pergi sendiri. Mungkin.


Setelah menempuh perjalanan hampir satu jam lamanya karena terjebak macet, akhirnya mereka sampai di salah satu area wisata di kota itu. Sebuah tempat yang cukup nyaman untuk dijadikan tempat berpiknik di akhir pekan. Tempatnya tidak terlalu ramai, tapi juga tidak sepi. Masih bisa terlihat beberapa orang berada di sekitaran sana.

“Rey udah sampe katanya,” ujar Johan memberi jeda. “Lagi jalan kesini.”

“Cepet banget sampenya,” sahut Abel yang tengah mengetuk-ngetukkan tongkatnya ke tanah. Hari kemarin ia baru saja melepaskan kursi rodanya dan menggantinya dengan tongkat, sebagai alat bantu. Lagipula kakinya memang tak terlalu parah, jadi ia cepat pulih.

“Ngebut kali,” timpal Kale dengan tangan sibuk menggelar tikar merah bermotif kotak-kotak yang sejak tadi ia bawa.

Hari ini Damarion dalam formasi lengkap. Tak ada yang absen atau berhalangan hadir untuk piknik pertamanya ini. Bahkan sepertinya tidak hanya Nathan yang bersemangat, karena dari apa yang bisa dilihat saat ini, Kale dan Johan terlihat lebih bersemangat dari yang lain. Mungkin karena ada makanan.

“Ih sandwichnya kok sedikit, Pa?” tanya Kale seraya menghitung sandwich sandwich yang ada di dalam wadah berwarna biru.

“Tinggal bikin lagi, itu bahannya masih ada.” Jawab Rey yang baru saja tiba disana.

“Yaudah si orang nanya doang,” Kale mendelik kemudian duduk di atas tikar yang baru saja ia gelar.

“Hari ini gak boleh berantem,” ancam Abel pada keduanya. “Awas aja lo berdua.”

“Iya kakak ku,” jawab Kale sekenanya.

“Rey?”

“Iya nggak, kak.”

Abel mengangguk kemudian memejamkan matanya. Meskipun sebenarnya sama saja, ditutup atau tidak ia tetap tak bisa melihat apapun. Ia menghirup udara dalam-dalam, kemudian menghembuskannya perlahan.

Semilir angin sore yang khas ditemani dengan sinar jingga dari matahari sore cukup menambah kehangatan hari ini. Akhir pekan dengan cuaca yang cerah adalah perpaduan yang sempurna untuk menghabiskan waktu bersama keluarga seperti saat ini.

Setelah membereskan semua barang yang ada, mereka mengatur posisi agar terasa nyaman. Mereka duduk mengitari tikar itu, dengan menyisakan salah satu sisi untuk Nathan dan kursi rodanya.

“Eh main game yuk,” usul Kale dengan senyum ceria di wajahnya.

“Game apa?” tanya Johan seraya menyuapkan sepotong kue kering yang sudah ia incar sejak siang tadi.

“Tell me the truth.”

“Gimana cara mainnya?” tanya Nathan yang ikut tertarik dengan arah pembicaraan Kale.

“Pake botol ini,” jawab Kale seraya mengacungkan sebuah botol minuman yang ada di dalam keranjang. “Botolnya diputer, terus nanti orang yang kena di bagian kepala botolnya harus ngasih tau satu kebenaran yang disembunyiin dari orang yang kena di bagian kaki botol. Gimana?”

“Gitu doang?” tanya Johan yang langsung disambut anggukan dari Kale. “Siapa takut.”

“Yang lain?” tanya Kale seraya menatap anggota keluarganya bergantian.

“Boleh,” jawab Sean dengan senyum tipis di bibirnya.

“Oke.” Ujar Kale seraya mengatur posisi duduknya agar lebih nyaman. Ia terlihat menyingkirkan beberapa makanan yang berada di area tengah, kemudian meletakkan botol minuman itu disana agar bisa menjangkau para pemain nanti. “Siap?”

“Ini gue ga bisa liat jadi jangan dicurangin ya.” pinta Abel.

“Iya.”

Kale meletakan tangannya di atas botol itu kemudian melihat ke arah Sean dan saudara-saudaranya yang lain bergantian. Hingga akhirnya ia memutar botol itu. Selama sepersekian detik, benda itu terlihat berputar. Mengarah ke arah Kale, Nathan, Rey, Johan, Abel, Sean, dan terus seperti itu secara berulang. Hingga akhirnya, benda itu berhenti dengan posisi kepala mengarah ke arah Kale dan kakinya ke arah Johan.

“Kale ke Johan,” ujar Sean spontan.

“Aduh, hehe...” lirih Kale canggung.

Johan menaikkan sebelah alisnya kemudian menatap Kale lekat-lekat, “Nyembunyiin apaan lo dari gue?”

“Itu...”

“Apa?”

Selama sepersekian detik, Kale hanya tersenyum canggung seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Yang nyolong cemilan di kamar lo itu gue, bukan Rey sama Nathan...”

“Anj-”

“Johan,” ujar Sean seraya menggelengkan kepalanya. “Jangan pelit sama sodara.”

“Dia nyolongnya sekardus, Pa.” Jawab Johan dengan suara sedikit lebih tinggi.

”...”

“He...he...”

Johan yang beberapa detik lalu sudah mengambil ancang-ancang untuk menyergap adik laki-lakinya itu, dalam segejap lansung saja berdiri. Ia berlari ngeitari tikar merah itu untuk menghampiri Kale untuk menangkapnya.

Namun, sang mangsa yang juga tak kalah sigap, langsung saja berlari menjauh. Laki-laki itu tertawa dalam jarak sekitar 8 meter kemudian mencibir Johan dari seberang sana.

“Sini lo,” perintah Johan tanpa melepaskan pandangannya dari Kale.

Bukannya takut, Kale justru semakin terpancing untuk terus membuat kakak laki-lakinya itu marah. Ia menjulurkan lidahnya dengan terus menggerakkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri seperti dengan menari. Tanpa menunggu aba-aba atau mengatakan sepatah katapun, Johan langsung berlari untuk mengejarnya.

Kegiatan kejar-mengejar itu berlangsung hampir 4 kali putaran pada sebuah pohon besar, hingga pada akhirnya Kale berhasil ditangkap dan mengakui kekalahannya. Semua yang ada disana hanya tertawa melihat tingkah keduanya, tak terkecuali Nathan.

“Udah-udah, ayo main lagi.” ujar Abel ketika mendengar suara Kale dan Johan sudah berada di dekatnya.

Kini Johan yang mengambil alih permainan, ia memegang bagian botol itu kemudian langsung memutarnya. Kali ini putarannya terlihat lebih cepat, karena laki-laki itu memutarnya cukup kencang. Botol terus berputar mengarah ke arah mereka secara bergantian, hingga akhirnya kepala botol itu mengarah ke arah Abel dan kakinya ke arah Kale.

“Kakak,” ujar Nathan tenang.

“Boong,”

“Beneran, tanya Papa.” Sahut Kale seraya menoleh singkat ke arah Sean.

“Iya bener,” jawab Sean sekenanya.

“Ke siapa?” tanya Abel datar.

“Ke gue,” jawab Kale dengan intonasi suara meledek.

“Apaan ya?”

“Apaan ayo? harus ngaku lho kak”

Selama beberapa saat, Abel terlihat berpikir. Hingga tiba-tiba ia membuka suara, “Oh motor lo.”

“Kenapa motor gue?” tanya Kale sedikit bingung.

“Ada di rumah bang Arkan,” jawab gadis itu santai.

“Hah?” Kale mengernyitkan keningnya bingung. Ia tampak berpikir keras, motor apa yang Abel maksud. Sampai akhirnya ia teringat akan sesuatu, “Motor yang...”

“Iya, yang waktu itu gue jual.” Jika sejak tadi gadis ini terlihat datar dan santai dalam menjawab, kali ini ada sebuah senyuman licik di bibirnya. “Sebenernya gak beneran gue jual, cuma gue simpen aja disana.”

Kale yang mendengar hal itu langsung membelalakkan matanya. “Anjir, lo kenapa gak bilang?”

“Ya lo sendiri, kenapa gak nanya?” Abel membalikkan pertanyaan.

“Motor apa?” sahut Sean yang terlihat kebingungan.

“Itu Pa, motor kesayangan Kale yang waktu Papa nanya kenapa motornya gak pulang-pulang, trus Kale jawab ilang, itu sebenernya dicolong sama dia nih.” Jelas Kale dengan nada sedikit kesal.

“Nggak kok, orang cuma minjem.”

“Mana ada minjem ga dikembaliin?” ketus Kale.

“Ih Pa, liat deh,” adu Abel kepada Sean. “Anak kecil marah-marah sama yang lebih tua, parah banget.”

“Kale.”

“Gue lagi gue lagi,” gerutu Kale ketika netranya dan Sean mulai beradu setelah pengaduan kakak perempuannya itu.

Dan untuk kesekian kalinya semua tertawa. Kecuali Kale tentu saja.


Di sisi lain Rey terlihat sibuk memakan sebuah sandwich dan beberapa salad buah yang ada di hadapannya. Sesekali ia ikut tertawa bersama yang lain, tapi tak jarang juga ia terlihat bungkam disaat yang lain tengah tertawa bersama.

Nathan yang sejak tadi terus memperhatikan saudara-saudaranya, kini memfokuskan perhatiannya pada Rey. Laki-laki berjaket bomber hitam itu terlihat hanya fokus pada makanannya. Tatapannya terlihat sayu dan kantung matanya hitam. Sangat jelas terlihat bahwa laki-laki itu tak tidur dalam beberapa hari ini. Nathan menundukkan kepalanya, melihat sepiring kecil jatah makannya, kemudian mengambil sebuah jeruk dari sana. Ia tampak menyapu singkat permukaan buah itu, hingga kemudian ia letakkan ke pangkuan Rey.

Rey yang semula tak sadar, kini menolehkan pandangannya ke arah Nathan. Ia sedikit menengadah karena posisi Nathan yang duduk di kursi roda lebih tinggi darinya.

Namun belum sempat ia berucap sepatah katapun, tiba-tiba Nathan bersuara dengan pelan. “Jeruk yang itu enak, cobain deh.”

Rey melirik sekilas ke arah piring yang ada di pangkuan Nathan. Masih utuh. Ia hanya menyentuh jeruk itu dan memberikan padanya.

“Lo belum makan jeruknya,” ujar Rey seraya mengembalikan jeruk yang Nathan berikan padanya. “Gue gak percaya.”

“Lo kan suka semua jenis jeruk,” jawab Nathan santai.

“Udah nggak,” ujar Rey kembali mengubah posisi duduknya dan mengabaikan Nathan. “Lo makan aja sendiri.”

“Gue kupasin ya,” gumam Nathan dengan tangan yang mulai mengupas kulit jeruk itu perlahan. Meskipun agak sulit, tapi ia coba sebisa mungkin.

Rey menghela nafasnya sejenak kemudian kembali menolehkan wajahnya ke arah Nathan. Entah apa yang ada di pikiran laki-laki berkursi roda itu, Rey tak tau. Ia bingung. Kenapa setelah semua yang ia lakukan padanya, ia masih tetap bersikap seperti ini. Bersikap seolah-olah tak ada yang terjadi diantara keduanya. Seolah-olah semuanya berjalan dengan baik-baik saja, dan tak pernah ada yang membuatnya sakit.

“Lo harus banyakin makan buah,” ujar Nathan di sela-sela kegiatanya. “Biar sehat, biar gak gampang sakit kaya gue.”

”...”

“Jangan sering begadang buat lakuin hal-hal yang bikin diri lo sendiri kecapean juga. Kalau susah, minta tolong orang lain.” tutur Nathan seraya menyerahkan kembali jeruk itu pada Rey. “Karena gak semua masalah bisa lo handle sendirian.”

“Lo juga kaya gitu, Nath.”

“Emang, makanya gue gak mau liat lo berakhir kaya gue.” Jawab Nathan dengan senyum hangat di bibirnya. Wajahnya yang pucat pasi terlihat begitu tulus ketika tersenyum. Entah sudah berapa banyak luka yang ia lalui, tak aka pernah bisa membuat senyumannya pudar.

Permainan berlanjut hingga semua mendapat bagian untuk saling mengungkapkan rahasianya satu sama lain. Disambung dengan perbincangan hangat tentang masa depan dan berakhir dengan mengambil belasan foto melalui kamera kesayangan Nathan, sebelum hari benar benar gelap. Jujur saja ini adalah satu dari sekian moments terbaik Nathan bersama keluarganya. Entah ini awal dari kebahagiaannya, atau hadiah terakhir baginya. Ia tak tau. Dan tak pernah tau.