Kisah Yang Berakhir

Tak ada yang bisa tidur nyenyak setelah apa yang terjadi tadi malam. Isak tangis dari orang-orang terus terdengar sejak dini hari tadi. Bahkan sepertinya langit juga ikut menangis karena kepergiannya, karena sejak pagi ia tak henti-hentinya menurunkan hujan ke bumi.

Rasa dingin terasa menjalar di sekujur tubuh Abel, air matanya yang hampir habis tak membuatnya beranjak atau sekedar melepaskan genggamannya pada nisan sang adik. Ia tetap menangis dan terus menangis seolah-olah hanya dirinya lah yang ditinggalkan. Padahal di sisi lain puluhan orang juga merasakan hal yang sama dengannya, terutama Sean. Untuk ketiga kalinya, ia harus merasa kehilangan karena ditinggalkan.

Sejak tadi pria itu juga hanya menangis dan enggan beranjak sedikitpun dari tempatnya, meski Jordi sudah mengajaknya untuk pergi dan menyapa beberapa rekan kerja yang turut hadir ke pemakaman.

Kini bisikan-bisikan kecil dari para guru dan siswa yang berpamitan juga mulai menjadi latar suara di pemakaman pagi itu. Tak ada satupun yang merasa tak kehilangan karena kepergian Nathan. Apalagi jika mengingat bahwa laki-laki itu sangat pandai bersosialisasi dan memiliki banyak teman, membuat mereka sangat kehilangan sosoknya.

Satu persatu orang mulai beranjak meninggalkan area pemakaman, melewati pepohonan yang rindang, melangkahi jalanan berumput yang basah karena guyuran hujan dan meninggalkan Nathan sendiri disana, dengan musim favoritenya di penghujung tahun ini. Penghujan.

“Pa,” panggil Kale seraya menepuk-nepuk pundak sang ayah. “Ayo pulang.”

“Papa masih mau disini,” jawabnya dengan suara parau. “Kalau papa pulang nanti Nathan sama siapa?”

“Pa.. “

“Kasian Nathan sendirian disana, pasti dingin ya, nak?”

Kale hanya menghela nafas panjang kemudian berlalu. Pikirannya terlalu kacau untuk sekedar duduk dan menenangkan orang lain, dirinya juga butuh penenang saat ini.

“Kemana?” tanya Johan ketika menyadari Kale yang beranjak pergi.

“Pulang,” jawabnya singkat.

“Hati-hati, jangan lupa makan.”

Tak ada jawaban, laki-laki dengan payung hitam itu hanya menganggukkan kepala kemudian melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti. Sesekali ia terlihat menyeka air mata yang tumpah di kedua pipinya. Ia sangat jarang menangis, bahkan hampir tak pernah. Dan ini adalah kali keduanya menangis tanpa henti hingga membuat dadanya terasa sesak berulang kali. Di pemakaman yang sama dengan cuaca yang sama.

Itulah mengapa ia sangat membenci pemakaman dan hujan. Karena untuk kedua kalinya dua hal itu telah merenggut orang yang ia sayang, orang yang sangat ia jaga dan orang yang telah berjuang begitu keras untuk merasakan bahagia ditengah ketersiksaannya terhadap penyakit yang ganas.

Mungkin terkadang Tuhan terdengar tidak adil pada manusia, seolah hanya mereka yang terlahir dari keluarga sempurna lah yang berhak merasakan kebahagia di dunia ini. Dan kami yang terlahir dari keluarga seperti ini, harus berjuang mati-matian untuk berdamai dengan keadaan demi mendapat setetes kebahagiaan.

Tapi bagaimanapun itu, skenario Tuhan tetap yang terbaik. Dengan berakhirnya perjuangan Nathan, kita tak perlu lagi melihatnya tersungkur di lantai karena kepalanya yang terasa berputar, atau melihat tangannya yang bergetar ketika mengguratkan pena di atas kertas. Kita juga tak perlu lagi mendengarnya mengucapkan kata baik-baik saja, disaat tubuhnya sudah menolak dirinya untuk terlihat baik-baik saja. Kini ia sudah mencapai kesembuhannya, ia tak akan merasakan lagi rasa sakit itu di sana. Ia bisa tertidur dengan tenang dan tanpa gangguan menyebalkan dari keempat saudaranya. Ia bisa tersenyum dan bahagia seperti sedia kala.

“Selamat tidur, anak baik,” gumam Kale bersamaan dengan air mata yang kembali jatuh dari kedua matanya.


Di sisi lain, di dalam sebuah kamar bernuansa putih dengan semerbak aroma vanilla yang manis, terlihat seorang laki-laki berpakaian serba hitam tengah duduk dan memeluk kakinya di salah satu sudut ruangan. Kepalanya tertunduk, air matanya jatuh, dan terdengar isak tangis disana. Satu jam yang lalu, setelah prosesi pemakaman Nathan, ia memutuskan untuk pulang lebih dulu. Kakinya bergerak tak tahu arah tujuan, kesana-kemari mencari sesuatu yang bahkan ia sendiri tak tahu apa itu. Hingga pada akhirnya ia menghentikan langkahnya di sini, di sebuah kamar berukuran 5x5 meter dengan puluhan jepretan abstrak yang terpajang di dinding ruangan.

Di tengah-tengah tangisannya, samar-samar Rey mendengar rekaman video dalam laptopnya kembali terputar.

“Motor apa?”

“Itu Pa, motor kesayangan Kale yang waktu Papa nanya kenapa gak pulang-pulang, terus Kale jawab ilang, itu sebenernya dicolong sama dia nih.”

“Ngga kok, orang Cuma minjem.”

“Mana ada minjem gak dikembaliin?”

“Ih Pa, liat deh. Masa anak kecil marah-marah sama yang lebih tua? Parah banget.”

“Kale!”

“Gue lagi gue lagi”

“Hahahahahaha”

Suara tawa itu berhasil menerobos indera pendengaran Rey saat itu juga, dadanya semakin terasa sesak dan tangisannya semakin pecah. Ribuan penyesalan dalam dirinya kian memuncak ketika rekaman video itu kembali terputar. Rey tau apa yang ia perbuat selama ini kepada Nathan, ia benar-benar menyadarinya, karena hal itu juga lah yang membuatnya begitu menyesal saat ini. Ia menyesal karena tak bersikap baik padanya lebih awal, ia menyesal karena terlalu mementingkan egonya. Karena sekarang, tak ada apapun yang bisa ia perbuat. Selama apapun ia menangis, sekeras apapun ia menjerit dan meneriakkan kata maaf, tetap tak akan membuat Nathan kembali padanya.

“Maafin gue, Nath...” lirih Rey ditengah isak tangisnya.