Malam tanpa bintang
Waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam, masih kurang lima jam menuju tengah malam dan hari ulang tahun Abel. Entah mengapa sejak pagi tadi kepala Nathan tak henti-hentinya berdenyut. Rasanya seperti ada sesuatu yang terus menghantamnya, dan membuatnya merasa berputar. Ya meskipun biasanya sakit, tapi hari ini sakitnya lebih terasa. Self-diagnosis paling masuk akal menurutnya adalah terlalu banyak pikirkan dan terlalu singkat jam tidurnya. Belum lagi matanya yang terasa agak berat kali ini, rasanya jika tak sedang menunggu sesuatu, ingin sekali sekali tidur. Tidur panjang tanpa mendapat gangguan dari siapapun.
Sebenarnya Hanin juga sudah memberinya saran untuk mengucapkan selamat besok pagi, atau ketika dirinya dan Abel bertemu saja. Tidak perlu ketika hari berganti, agar dirinya bisa tidur. Tapi kembali lagi, ini adalah inisiatifnya sendiri, dan ia ingin melakukannya. Ya meskipun tidak memiliki banyak persiapan, tapi ia ingin menjadi yang pertama dalam memberi ucapan pada kakaknya, kakak kandungnya. Se sederhana itu keinginannnya.
“Abis ini kamu tidur aja, nanti pas udah deket jam 12 aku bangunin.” ujar Hanin seraya menyodorkan sebuah sendok berisi nasi dan beberapa sayuran kepada Nathan.
Bukannya menjawab, laki-laki yang diajaknya bicara itu justru menggeleng pelan. Sorot matanya masih terlihat fokus ke sebuah notebook berwarna abu-abu, dan menuliskan sesuatu diatas sana.
“Kamu udah ngantuk kan?” lagi-lagi Hanin bersuara. Namun yang ditanya tetap saja enggan mengeluarkan sepatah katapun dari mulutnya. Ia hanya fokus mengunyah makanan yang Hanin suapkan padanya dan terus menulis.
Hanin menghela nafasnya sejenak kemudian memalingkan pandangannya ke arah jendela. Malam ini tak ada bintang maupun bulan yang terlihat. Padahal ramalan cuaca mengatakan dalam sepekan kedepan akan cerah.
“Hanin,” panggil Nathan tiba-tiba. “Papa... kemana?”
“Tadi kan dia udah izin ke kamu buat pulang dulu, emangnya gak inget?”
“Oh... iya”
Hening. Lagi-lagi Nathan membungkam mulutnya rapat-rapat. Entahlah, ia hanya tak terlalu berenergi saja hari ini, jadi yang bisa ia lakukan hanya diam. Ia menghela nafasnya panjang kemudian menoleh ke arah jendela. Melihat tirai berwarna putih tulang yang bergerak ke kanan dan ke kiri karena tiupan angin dari celah jendela. Selama beberapa saat, ia diam. Tak berkutik dan mengatakan sepatah katapun pada orang di sampingnya.
“Kenapa?” tanya Hanin yang menyadari perunahan sikap Nathan.
“Mau keluar,” jawabnya memberi jeda. “Temenin, ya?”
“Mau kemana?”
“Lihat bintang.”
“Hari ini gak ada bintang, dari tadi siang kan mendung,” jawab Hanin seraya menaruh piring yang sedari tadi ia pegang ke atas nakas.
“Sebentar aja, Hanin.” Nathan memohon.
Hanin menghela nafasnya berat kemudian mengangguk pelan. “Yaudah.”
Sebuah senyum bahagia tercetak di bibir Nathan ketika mendapati jawaban dari gadis itu. Ia mengubah posisi duduknya untuk turun dan pindah ke kursi roda yang selalu berada di sebelah kiri ranjangnya. Hanin yang menyadari hal itu dengan sigap langsung membantunya, ia membiarkan lengannya untuk menopang tubuh Nathan yang lemah.
Setelah memastikan Nathan duduk dengan benar, ia menunduk, menyejajarkan wajahnya dengan Nathan kemudian menatap mata laki-laki itu dengan tenang. “Sebentar aja ya?”
Lagi-lagi Nathan menganggukkan kepalanya. Tak masalah, lagipula ia hanya ingin melihat suasana luar saja malam ini. Tak ada yang lain.
Semilir angin dan cahaya remang-remang dari lampu taman akan menjadi teman bercerita Nathan dan Hanin malam ini. Sebenarnya taman Rumah Sakit bukan salah satu objek yang akan ramai dikunjungi orang-orang, maka tak heran jika malam ini hanya terlihat beberapa pasien dengan para pengunjung saja yang datang, untuk jalan-jalan atau sekedar mencari udara segar di luar. Sama seperti yang dilakukan Nathan saat ini.
Kini laki-laki berpakaian khas pasien rumah sakit itu tengah duduk di kursi rodanya dengan kepala menengadah, melihat hamparan awan yang bergerak bebas di atas sana. Begitu pula dengan gadis dengan rambut tergerai yang ada di sampingnya, ia juga menengadahkan kepalanya untuk melihat langit yang sama dengan Nathan.
“Menurut kamu, langit ada ujungnya gak?” tanya Nathan membuka percakapan.
“Langit?” tanya Hanin yang langsung diberi anggukan oleh laki-laki disampingnya.
Gadis itu tampak berpikir sejenak kemudian dengan pelan ia menolehkan wajahnya ke arah Nathan. Memperhatikan sorot mata Nathan yang terlihat bebinar memandang langit. “Entah, mungkin ada mungkin juga nggak. Menurut kamu?”
“Ada.”
“Kenapa gitu?”
“Segala sesuatu pasti ada ujungnya kan? bagian penghabisan dalam sesuatu itu selalu ada.” Ujar Nathan seraya menoleh ke arah Hanin. Kini netra keduanya beradu dalam jarak yang lumayan dekat. Dalam beberapa saat Nathan diam dan hanya membalas tatapan gadis itu, hingga akhirnya ia melanjutkan kalimatnya. “Bahkan jalanan yang menghubungkan semua daratan juga ada ujungnya.”
“Mereka beda, Nath.”
“Ya... mungkin?” Nathan mengangguk-anggukkan kepalanya kemudian kembali memalingkan wajahnya ke arah langit. Tangan kirinya terangkat, menerawang langit melalui sela-sela jarinya. “Tapi dimanapun itu, ada atau nggaknya, aku selalu berharap kalau suatu saat aku bisa dateng ke sana. Ke penghujung langit dan tinggal bersama milyaran bintang yang jauh disana.”
“Kedengerannya keren, kan?” sambung laki-laki itu.
Tanpa memalingkan sedikitpun pandangannya dari laki-laki itu, Hanin mengangguk pelan, “Iya, keren.”
“Tapi semua itu gak akan terjadi,” ujar Nathan dengan helaan nafas panjang di ujung kalimatnya.
“Karena mustahil?” tebak Hanin seraya menaikkan sebelah alisnya.
Nathan menggeleng pelan. “Karena aku gak bisa jamin kalau masih ada hari esok buat wujudin itu semua.”
Hanin diam. Membiarkan laki-laki itu melanjutkan kalimatnya.
“Mungkin buat mereka yang terlahir dengan kehidupan sempurna selalu berpikir akan selalu ada hari esok, akan selalu ada canda tawa di ruang makan keluarga ketika akhir pekan, akan selalu ada sambutan hangat ketika pulang sekolah, akan selalu ada segelas susu cokelat untuk pengantarmu tidur di setiap malam. Dan akan selalu ada hari berikutnya untuk mencapai segala impian.” tutur laki-laki itu dengan santai. Kini ia kembali menolehkan wajahnya ke arah Hanin, menatap lurus ke arah netranya kemudian menyambung kalimatnya. “Tapi orang kaya aku gak akan bisa gitu, Nin. Buat orang yang mengidap penyakit keras, setiap hari adalah hari terakhirnya. Bahkan membuka mata di hari yang berbeda adalah sebuah keberuntungan, karena kita ga akan pernah tau, kapan semesta kita akan berhenti berputar.”
“Kamu masih punya hari esok, percaya sama aku.”
Nathan menarik sudut bibirnya, membentuk sebuah senyuman tipis kemudian mengangguk pelan. “Semoga.”
Setelah itu tak ada percakapan apapun lagi diantara keduanya. Nathan dengan dunianya, dan Hanin dengan pikirannya yang berantakan. Mereka hanya sibuk memandang langit tanpa bintang dan merasakan segarnya udara malam melalui rongga hidungnya. Hingga keduanya tak sadar, 10 menit telah berlalu.
“Kamu inget gak waktu kita pertama kali ketemu?” lagi-lagi Nathan membuka percakapan.
Hanin tampak berpikir sejenak, kemudian kembali mengingat masa-masa itu. “Kita pertama ketemu di... sini. Kita ketemu disini di jam delapan malem. Iya kan?”
Nathan mengangguk. “Malam itu juga gak ada bintang di langit.”
“Iya, waktu itu seharian hujan dan baru reda lima belas menit sebelum kita kesini.”
“Iya”
“Aku inget banget waktu itu kamu mau ngerokok, kan?” tanya Hanin yang mulai antusias.
“Trus kamu rebut rokoknya,”
“Trus kamu marah,”
“Trus kamu lebih marah,”
“Haha iya,” gadis itu tertawa kecil. “Lucu deh kalo diinget-inget lagi.”
“Apa aja yang masih kamu inget?” tanya Nathan.
“Kayanya...” jawab Hanin memberi jeda. “Semua?”
“Aku mau denger bagian favorite kamu.”
“Bagian favorite?” tanya Hanin. Kini ia tampak berpikir. “Apa ya?”
“Apa aja, aku mau denger.”
Selama sepersekian detik gadis itu diam. Pikirannya menjelajah mundur untuk mengingat apa saja yang terjadi di masa itu. Masa dimana ia bertemu dengan pria angkuh bernama Nathan Damarion, untuk pertama kalinya.
“Aku suka waktu kamu ngenalin diri pake nama James ke orang asing, atau waktu kamu tiba-tiba pegang tangan aku pas ada yang ngajak kamu ngobrol.” tutur Hanin dengan tangan yang bergerak kesana kemari seolah-olah sedang menggambar sesuatu di udara. “Aku suka semuanya. Apalagi waktu kamu cerita tentang diri kamu, tentang apa yang kamu rasain, tentang apa aja yang udah kamu lalui selama ini.”
“Lagi,” pinta Nathan.
Hanin mengernyitkan keningnya kemudian mengubah posisi duduknya jadi menyamping. “Kamu suka pujian ya?”
Bukannya langsung menjawab, laki-laki itu justru mengangkat bahunya terlebih dahulu. “Mungkin?”
“Oke-oke.” Hanin kembali mengubah posisi duduknya seperti semula. Ia menyenderkan tubuhnya ke sandaran kursi taman kemudian menengadahkan kepalanya ke langit. Tangannya bergerak ke kanan dan ke kiri, menunjuk ke arah langit. “Aku suka waktu kamu ajarin aku main gitar, waktu kamu nyanyi, waktu kamu ceritain apa mimpi kamu di masa depan, atau waktu kamu jelasin benda apa aja yang ada di atas sana.”
Gadis itu terus mengoceh kesana-kemari menceritakan banyak hal yang tak ada habisnya. Hingga dirinya tak sadar bahwa penglihatan laki-laki disampingnya mulai kabur.
“Aku suka semuanya, Nath. Aku suka semua karena kamu yang jadi tokoh utama di cerita kita, bukan orang lain. Dalam bentuk apapun, aku pasti menyukainya.” Hanin menarik nafas panjang kemudian menghembuskannya perlahan. Tangan yang semula ia angkat kini mulai ia turunkan. “Kamu sendiri? apa bagian favorite kamu?”
Hanin menolehkan wajahnya, mengajak sang lawan bicara untuk saling beratatap satu sama lain. Namun baru beberapa detik, ia langsung terkesiap ketika mendapati laki-laki disampingnya tak sadarkan diri dengan keadaan pucat.
“Nath... Nathan.” “Nath, bangun.”
Hanin mengguncang pelan tubuh laki-laki itu, namun ia tetap tak bereaksi apapun. Matanya terpejam, bibirnya terlihat kering dan sekujur tubuhnya dingin seperti tak ada darah yang mengalir di dalam sana.