259

Dentang jam dinding, beberapa suara alat medis, dan geratan dari kursi roda terdengar saling bersautan satu sama lain di dalam sebuah ruangan Rumah Sakit siang itu. Nathan yang semula memejamkan matanya bahkan hampir tertidur, kini kembali tersadar. Ia menolehkan wajahnya ke arah pintu masuk, ke arah seorang gadis berkursi roda yang baru saja tiba disana.

“HATCHI!!”

“Ih virus,” pekik Nathan ketika mendapatin kursi roda itu semakin mendekat ke ranjangnya. “Sana jauh-jauh.”

Abel menggesek singkat hidungnya yang memerah. Gatal. Sejak pagi tadi ia memang sudah bersin-bersin seperti itu, entah karena debu atau suhu udara yang dingin, ia tak tau. Dan tak ingin tau. Toh akan hilang dengan sendirinya nanti.

“Gak usah nges-HATCHI!!”

“Lagi bersin-bersin tuh anaknya, bawa keluar lagi, Jo.” Celetuk Nathan dengan santai. Ia mengulurkan tangannya, mendongkak sebuah gelas berisi air putih yang ada di atas nakas kemudian menegaknya.

“Gak usah berantem, lo berdua lagi sakit juga.” Sahut Johan yang baru saja melepaskan tangannya dari kursi roda Abel.

“Trus lo ngapain nyuruh gue kesini, hah?” sungut Abel terlihat kesal. “Jauh-jauh gue dateng kesini, pas sampe malah di usir.”

Nathan terkekeh pelan ketika mendapati raut wajah kesal dari kakak perempuannya. Tubuhnya sudah sedikit bertenaga hari ini, tidak sekuat itu tapi setidaknya ia sudah tak terlalu kesulitan untuk bergerak. Bahkan ia juga sudah bisa memainkan ponselnya kembali saat ini. Meskipun hanya dengan tangan kiri.

“Lagi pengen liat orang marah aja.”

“Rese.”

“Yaudah gue keluar dulu,” ujar Johan seraya berjalan menjauh ke arah pintu. “Kalau ada apa-apa panggil aja.”

Abel dan Nathan menganggukkan kepalanya, bersamaan dengan suara pintu yang ditutup.

“Lo udah enakan?” tanya Abel membuka percakapan.

“Lumayan,” jawab Nathan singkat.

“Pantes ngeselin.”

Nathan hanya mengangkat bahu. Sebenarnya ia tak berniat untuk membuat kakak perempuannya itu marah atau kesal seperti sekarang, tapi ia hanya ingin mencairkan suasana. Ia tak ingin suasana di tempat ini terus-menerus diselimuti kesedihan dan kekhawatiran, lagipula ia sudah merasa baik-baik saja sekarang. Jadi tak ada yang perlu mereka khawatirkan lagi.

Hening. Tak ada percakapan apapun diantara keduanya. Raut wajah Abel terlihat berubah sedikit muram, dan Nathan sadar akan hal itu.

“Itu apa, kak?” tanya Nathan kembali membuka percakapan. Kini pandangannya berpusat pada sebuah benda berbentuk kotak yang ada di pangkuan Abel.

“Foto kalian,” jawab Abel singkat. Dengan perlahan ia menggerakan tangannya, mengelus permukaan figura foto ditangannya dengan lembut.

“Kok bisa ada di kakak?” tanya Nathan memberi jeda. “Itu kan foto kita waktu SMP.”

“Kata bunda foto ini Papa kirim waktu hari ulang tahunnya,” jawab Abel tenang. Kini pikirannya menjelajah kembali ke masa lalu, masa dimana Riana dengan senyum cantiknya ketika melihat foto itu. “Jadi dia cetak biar dia bisa terus fotonya.”

“Berarti hubungan bunda sama papa baik-baik aja dong dulu?” lagi-lagi Nathan bertanya.

“Gak terlalu.” Abel menggelengkan kepalanya pelan. “Tapi gak seburuk itu juga.”

Nathan hanya mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti. Hanya mendengar sedikit ceritanya saja Nathan sudah bisa merasakan bahwa Riana adalah orang yang begitu hangat dan menyenangkan. Andai saja waktu lebih bersahabat dengannya, dan semesta lebih berpihak kepadanya, pasti ia bisa tinggal bersama dengan ibu kandungnya itu. Atau mungkin melakukan kemoterapi bersama, pasti akan menyenangkan.

Sebenarnya Nathan cukup sering bertemu dengan Riana dulu, dulu sekali. Jauh sebelum keluarganya hancur seperti sekarang. Bahkan Senna pun masih baik-baik saja saat itu. Seingatnya, Riana pernah berulang kali datang ke Sekolah Dasarnya hanya untuk mengajak ia berbicara dan memberinya bekal makanan. Saat itu Nathan juga tak terlalu pandai untuk bergaul dengan orang lain, jadi ia merasa cukup senang ketika Riana datang dan mengajaknya bicara. Saat itu Nathan hanya tau bahwa Riana adalah sahabat dari ibunya, Senna. Dan mungkin saja anaknya juga bersekolah di tempat itu, makanya ia sering datang. Tak pernah terlintas sedikitpun dalam benaknya bahwa wanita itu sengaja datang karena dirinya.

“Ceritain tentang bunda lagi dong kak,” pinta Nathan sedikit bersemangat.

“Bunda?” Abel balik bertanya. Gadis itu tampak berpikir sejenak. “Hmm, apa ya?”

“Apa aja.” Nathan mengangkat wajahnya, menatap gadis berkursi roda itu dengan saksama. “Nathan mau denger.”

“Bunda itu suka banget sama foto, ntah dia yang pegang kamera atau dia yang jadi objek kamera,” ujar Abel mulai bercerita. Kini kilasan-kilasan masa lalunya kembali muncul di kepalanya, ia merasa dirinya kembali ditarik ke masa itu. Masa dimana sang ibu dengan bangganya memamerkan berbagai macam kamera analog yang baru saja ia beli di toko barang bekas. Katanya benda itu sangat unik dan bernilai tinggi untuknya, ia jelaskan semua tentang benda itu dan bagaimana cara menggunakannya. Yang bahkan Abel sendiri tak tertarik untuk mendengarkan.

“Oh ya?” tanya Nathan antusias. “Dia punya kamera jenis apa aja?”

“Gak ngerti, tapi koleksinya banyak banget.”

“Gue mau liat dong, kameranya ada dimana?”

“Di Berlin,” jawab Abel memberi jeda. “Gue gak berani nyentuh apalagi mindahin itu semua.”

Nathan mengembuskan nafasnya kecewa. “Yah.”

“Tapi kalo lo udah bener-bener sehat, kita bisa kesana.” Ujar Abel di ujung helaan nafas adiknya. “Lo bisa liat-liat semua kameranya.”

“Sekalian ke makam bunda,” sambung gadis itu.

“Iya, nanti kita kesana.” Nathan menganggukkan kepalanya singkat. “Kalo gue ada umur.”

Mendengar jawaban Nathan yang seperti itu, dengan sigap Abel langsung melayangkan pukulan pada kakinya. Tidak terlalu keras, tapi cukup membuat laki-laki itu meringis. “Ada, jangan ngomong sembarangan lo.”

Nathan hanya terkekeh pelan mendengar ucapakn kakak perempuannya. “Terus terus, bunda gimana lagi, kak?”

“Bunda...” Abel terlihat berpikir lagi. “ Oh, katanya dia juga pernah jadi model majalah dulu.”

“Keren dong.”

“Iya, tapi akhirnya dia mutusin buat berhenti.”

“Kenapa?”

“Gak tau.” Abel menggeleng. “Bunda gak bilang.”

“Yah, gimana sih?”

“Ya gak tau!!”

Ditengah percakapan keduanya, tiba-tiba pintu terbuka. Terlihat seorang dokter dan dua orang perawat berjalan ke arahnya.

“Nathan, periksa dulu, ya?” ujar sang dokter.

Nathan mengangguk pelan, kemudian mengalihkan pandangannya pada Abel. “Kak, udah dulu ya ceritanya? nanti kita lanjut lagi.”

“Iya.” Abel mengangguk singkat. “Gue juga mau ketemu Dissa sama Millie dulu, katanya mereka mau kesini.”

Nathan menganggukkan kepalanya, bersamaan dengan seorang perawat yang datang untuk membantu mendorong kursi roda milik Abel.

Tapi sebelum ia benar-benar pergi, Abel kembali membuka suara.

“Nath,” panggilnya memberi jeda. “Lain kali ceritain tentang lo juga, ya?”

“Kenapa?”

“Kenapa apanya?”

“Kenapa harus cerita?”

“Gue juga mau tau tentang lo,” ujar Abel memberi jeda. “Tentang Papa, tentang Rey, tentang Johan, Kale. Tentang kalian semua.”

“Bukannya kakak udah tau semuanya?” tanya Nathan dengan santai. “Kita kan tinggal serumah.”

“Masih banyak yang gue gak tau tentang kalian.”

Seulas senyum tipis tercetak di bibir laki-laki berwajah pucat itu. “Yaudah, nanti kita cerita.”

Abel mengulurkan tangan kanannya, mengacungkan jari kelingking kemudian berkata. “Janji?”

Selama sepersekian detik Nathan diam, memperhatikan jari kelingking Abel yang menunggu sambutan darinya. Sejujurnya ia tak ingin berjanji perihal apapun dalam situasi seperti ini, entahlah rasanya ia selalu ragu saja. Ia tidak ingin membuatnya sedih jika tiba-tiba kondisinya drop seperti beberapa hari yang lalu.

Menyadari tak ada respon apapun dari adik laki-lakinya, Abel menurunkan kembali tangannya. Namun sebelum turun dengan sempurna, tiba-tiba sebuah jari kelingking yang lain menahannya.

Nathan mengaitkan jari kelingkingnya di jari Abel, kemudian tersenyum hangat. “Janji.”