Ini Nathan, kak

“Kamarnya beneran yang ini kan?” tanya Nathan pada dirinya sendiri. Ia menyampingkan tubuhnya, mendekat telinga kanannya ke arah pintu kamar itu dengan harapan bahwa ia bisa mendengar suara seseorang di dalam sana. Hening. Tak terdengar suara apapun di dalam. “Kok sepi, ya?”

“Gak papa, Nath. Kalau salah kamar, lo tinggal minta maaf.” Gumam laki-laki itu dengan posisi tangan yang berada di knop pintu. Ia mengatur pernafasannya, kemudian dengan perlahan mendorongnya.

Sebuah hembusan nafas lega berhasil lolos ketika mengetahui bahwa kamar yang ia tuju ternyata benar. Kini dihadapannya terlihat seorang gadis berpiyama biru tengah duduk di ranjangnya. Rambutnya yang lurus terlihat bergerak kesana-kemari karena tertiup angin dari celah jendela. Matanya berkedip dengan tempo yang lambat, dan pandangannya terlihat kosong. Selama sepersekian detik Nathan hanya bisa diam di tempat. Memandangi Abel yang tak bergerak dari posisinya. Ragu rasanya untuk melangkah.

“Siapa?” “Papa?” “Rey?” “Johan?” “Nath-” ujar gadis itu tertahan. “Kale?”

“Ini Nathan, kak,” ujar Nathan dengan intonasi yang rendah.

Gadis itu tampak sedikit terkejut, matanya mengerjap dua kali lebih cepat. Kemudian dengan ragu, ia berkata, “N-Nathan?”

“Hmm,” gumam Nathan seraya mengangguk pelan. Meskipun sebenarnya hal itu juga tak berguna, karena Abel tak bisa melihatnya. Setelah rasa ragunya sedikit pudar, ia memberanikan diri untuk melangkahkan kakinya mendekat ke arah Abel. Sesekali ia juga terlihat membenarkan beanie hat abu-abu yang dikenakannya.

“Sini duduk, Nath.” Abel meraba-raba kursi yang berada di sampingnya. Meminta laki-laki itu agar duduk disana.

Nathan menarik sebuah kursi yang berada di samping ranjang itu, kemudian mendudukinya. Kursinya masih hangat. Sepertinya seseorang baru saja duduk di tempat ini beberapa saat yang lalu.

“Gimana keadaan kamu sekarang? udah membaik?” tanya Abel membuka percakapan. Tapi yang ditanya hanya diam, mengunci mulutnya rapat-rapat. Entah mengapa, melihat kondisi Abel yang seperti ini benar-benar membuatnya sakit.

Abel menghembuskan nafasnya panjang ketika ia tak kunjung mendapat jawaban dari pertanyaannya. Ia tak tau apa yang ada di pikiran adik laki-lakinya saat ini, tapi jika boleh ditebak, pasti dia masih merasa bersalah karena kejadian hari itu.

“Gue udah baik-baik aja sekarang, gue udah bisa duduk, gue udah bisa makan, dan udah bisa ketawa juga. Jadi lo gak perlu khawatir tentang apapun lagi, Nath.” Sambung Abel dengan suara yang lembut. “Gue juga gak marah atau nyalahin lo tentang kecelakaan hari itu. Jadi lo gak perlu ngerasa bersalah lagi sama gue, bahkan sama diri lo sendiri.”

“Maafin Nathan ya kak...” lirih laki-laki itu dengan raut wajah bersalah.

Abel menggelengkan kepalanya, tangannya bergerak mencari keberadaan adiknya. “Nggak nggak, lo gak perlu minta maaf. Karena lo gak salah apa-apa, Nath.”

“Nathan salah kak, Nathan udah sering buat kakak celaka. Bahkan di pertemuan pertama kita di sekolah, dengan gak sopannya Nathan malah ganggu kakak.” Tutur Nathan dengan nada suara yang semakin pelan.

“Yaudah, gue terima permintaan maaf lo. Gue juga mau minta maaf karena sering bikin lo marah dulu.” Lagi-lagi Abel menghela nafasnya berat. “Jangan ngerasa bersalah lagi ya, Nath? kita impas sekarang. Dan kalo lo mau, kita perbaiki semuanya bareng-bareng, kita mulai hidup baru sebagai adik-kakak pada umumnya. Yang dulu... anggap aja salam perkenalan.”

Nathan menengadahkan kepalanya, menahan air mata yang hampir jatuh dari tempatnya. Selama sepersekian detik ia diam. Mengatur pernafasannya yang berpacu sedikit cepat, hingga dengan pelan ia memanggil, “Kak...”

“Hmm?”

“Nathan boleh minta peluk?” pintanya ragu-ragu.

Abel mengangguk seraya menyeka air matanya yang mulai jatuh. Ia merenggangkan tangannya, memberi ruang agar Nathan bisa memeluknya.

Laki-laki itu mendekat, menyambut pelukan kakak perempuannya. Hangat. Itu yang bisa Nathan rasakan saat ini. Pelukannya terasa begitu nyaman, seperti dipeluk seorang ibu. Dalam diam ia memejamkan matanya, dan bulir-bulir air mata mulai membanjiri kelopak mata laki-laki itu bersamaan dengan dadanya yang terasa sesak. Dalam hati Nathan terus bertanya-tanya, kenapa tidak sejak awal saja semuanya terungkap? kenapa ketika tubuhnya mulai rapuh, dan penglihatan kakaknya hilang, semuanya baru terungkap? ini terlalu membuatnya sakit.

Kini tak ada percakapan apapun yang terdengar dari keduanya. Mereka diam. Saling mengeratkan pelukan yang ditemani dengan linangan air mata. Mungkin jika situasinya berbeda, mereka akan saling mengejek satu sama lain. Tapi saat ini, yang mereka bisa lakukan hanya saling menguatkan satu sama lain.


Sudah hampir satu jam lamanya Sean, Jordi bahkan adik-adiknya yang lain tak kunjung kembali. Entah kebetulan atau semesta memang sedang berpihak padanya hari ini. Ia seperti sedang memberi peluang untuk Abel dan Nathan agar bisa bercengkerama lebih lama dan melepas beban pikiran keduanya selama ini.

“Kenapa lo gak pernah bilang kalo lo sakit?” tanya Abel meminta penjelasan, sementara Nathan, ia justru menundukkan kepalanya.

“Kalo Nathan bilang, kalian bakal peduli?” suara Nathan terdengar agak parau, tapi cukup terdengar jelas di telinga Abel.

“Menurut lo?” tanya Abel yang tak habis pikir dengan pertanyaan yang baru saja Nathan ajukan padanya.

“Nathan nanya, kak.”

“Kita pasti peduli, Nath.”

Nathan memejamkan matanya yang terasa berat, kepalanya sakit. Tapi ia harus tetap tenang dan menahannya sampai ia kembali nanti. “Ya itu kan kakak, belum tentu sama yang lain.”

“Itu cuma asumsi lo aja.”

Nathan membuka matanya kemudian memalingkan pandangannya pada Abel. “Kakak kan tau hubungan Nathan sama yang lain kaya gimana, terutama Papa.”

“Kalian emang sering berantem, Nath. Bahkan gue juga. Tapi bukan berarti mereka, terutama papa, gak punya sisi kemanusiaan dengan gak peduli sama kondisi lo,” jelas Abel dengan tenang.

“Sekarang Nathan balik, itu juga cuma asumsi kakak aja,” jawab laki-laki berwajah pucat itu dengan santai.

“Oke oke, kalo mereka beneran gak peduliin lo, seenggaknya lo masih punya gue, kan?”

“Kakak gak malu punya adek penyakitan kayak Nathan? kakak gak takut sama papa karena terus-terusan peduliin Nathan? kakak-” tanya laki-laki itu tertahan.

“Penyakit itu dateng bukan berdasarkan keinginan lo, kan? dan gue gak ada hak buat malu atau ngejauhin lo karena hal itu.” potong Abel dengan suara yang hampir habis. “Hak gue cuma jagain lo, sama nemenin lo sampe sembuh nanti.”

“Kak.”

“Gue gak butuh persetujuan lo, Nath.”

“Kenapa?”

“Kenapa apa?”

“Kenapa kakak tetep baik setelah apa yang Nathan lakuin?”

“Lo gak lakuin apa-apa, Nath. Gue kan udah bilang, itu cuma salam perkenalan.”

Selama beberapa saat tak ada yang membuka suara diantara keduanya. Hening. Kini yang terdengar hanya perbincangan kecil dari orang-orang yang berjalan melewati kamar itu.

“Makasih ya, Kak.” Nathan kembali membuka suara.

“Buat?”

“Semuanya, entah kakak beneran tulus atau nggak, tapi kata-kata kakak barusan udah buat Nathan tenang. Ya seenggaknya buat hari ini.” Tutur Nathan dengan kepala yang sedikit menunduk.

Abel mengangguk, raut wajahnya yang semula muram, kini terlihat sedikit membaik. Ia tersenyum. “Bertahan ya, Nath? jangan pernah nyerah. Lo harus berjuang biar bisa sembuh. Bukan demi gue, Bunda, bahkan yang lain. Tapi bertahan demi diri lo sendiri, demi kebahagiaan lo.”

Lagi-lagi mata cokelat Nathan terpejam, menyisakan deretan bulu mata yang lentik disana. Sudut bibirnya terangkat, membentuk sebuah senyuman pahit yang terpampang cukup jelas disana. “Nathan gak akan nyerah cuma karena semesta jahat sama Nathan hari ini, Kak. Karena bisa aja, semesta akan lebih jahat di hari berikutnya.”

Abel diam, matanya kembali memanas saat ini. Ingin sekali rasanya ia lepaskan air mata yang hampir mendobrak kedua matanya saat itu juga, dan meraung dengan keras. Hatinya begitu sakit setiap kali Nathan mengeluarkan kata demi kata dari mulutnya. Tapi ia tak bisa. Ia tak boleh menangis, ia harus tetap terlihat kuat, agar Nathan juga bisa kuat. Meskipun sebenarnya, Nathan memang sudah sangat kuat karena bertahan hingga detik ini.

“Itu yang Papa bilang waktu Nathan kecil dulu,” lirih Nathan menyambung kalimatnya.

“Lo anak baik, Nath. Lo berhak sembuh dan hidup bahagia. Gak selamanya semesta bersikap jahat sama lo. Dia punya rencana yang baik untuk orang-orang yang baik juga. Makanya lo dikasih cobaan dulu sekarang, biar bahagia lo bisa dateng nanti.” Abel memejamkan matanya sejenak. “Tanang aja, Nath. Semesta selalu ada di pihak orang-orang baik.”

“Mungkin kakak bener, semesta emang selalu ada di pihak orang-orang baik,” ujar Nathan memberi jeda. “Tapi Nathan gak cukup baik, kak. Nathan gak termasuk dalam golongan orang-orang baik yang kakak maksud itu. Jadi hak Nathan buat bahagia juga sedikit. Atau mungkin gak ada. Makanya Nathan ambil cara lain buat balikin keadaan, biar Nathan aja yang bikin orang-orang bahagia.”

“Kalo gitu, lo harus lawan semesta. Lo harus egois, lo harus teriak biar semesta denger kalo lo juga mau bahagia,” ujar Abel memberi jeda. “Sekali-sekali gak papa kalau mau egois sama keadaan, Nath. Lo gak boleh diem aja disaat semesta bikin hidup lo hancur.”